Ditemukanlah di dalam Perjanjian Lama, bahwa ‘Tuhan menjanjikan untuk orang Yahudi itu negeri leluhur mereka: Palestina,’ di mana di sana dulu pernah berkuasa Nabi Sulaiman dan Nabi Daud.
Tetapi, lanjut Prof Quraish, kalau kita membaca Perjanjian Lama, maka kita menemukan janji Tuhan itu kepada Nabi Ibrahim, bahwa ‘keturunanmu itu diberi janji negeri di Al-Ardlil Muqaddasah, Negeri yang Suci.’
“Kalau memang kita berkata itu janji kepada Nabi Ibrahim dan anak cucunya, otomatis orang Arab juga dong punya hak di sana. Iya, kan?” tanya Prof Quraish.
Tetapi, mereka tidak mau mengakui orang Arab sebagai anak Nabi Ibrahim.
Ini terjadi karena Nabi Ibrahim menikah dengan perempuan budak.
Anak keturunan itu, menurut mereka, bukan ditentukan oleh bapak, tetapi oleh ibu. Ibunya budak, berarti bukan anak Nabi Ibrahim.
“Itu alasan mereka. Tapi kalau kita tidak, itu anak Nabi Ibrahim mestinya, betapa pun,” imbuh ulama kelahiran 16 Februari 1944 itu.
Dalam Perang Dunia I itu, lanjutnya, Inggris-Sekutu menang melawan Kesultanan Utsmaniyah.
Hal itu, menurut Prof Quraish, memunculkan ambisi negeri-negeri Islam dan Arab.
Yordania punya ambisi tanah yang luas. Mesir punya ambisi memimpin negeri-negeri Islam.
Tetapi, sambung Prof Quraish, dalam janji Inggris itu memberi pesan bahwa mereka harus hidup berdampingan, antara orang Arab dan orang Yahudi.
Tetapi kemudian kacau, karena Inggris keluar meninggalkan Palestina, dan membiarkan keduanya berkelahi hingga perang.
Prof Quraish melanjutkan, orang Arab pun kalah dalam perang dan diusir dari Palestina pada tahun 1948.