Setara Institute Minta Kapolri Tindak Peneliti BRIN yang Ancam Bunuh Warga Muhammadiyah

    WARTABANJAR.COM, JAKARTA – Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Ismail Hasani Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus segera memerintahkan jajarannya menindak peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andi Pangeran Hasanuddin atau AP Hasanuddin.

    Karena, jelas Ismail Hasani, AP Hasanuddin mengancam warga Muhammadiyah sudah memenuhi unsur pidana.

    Selain itu, papar Ismail Hasani, pernyataan provokatif yang mengancam membunuh warga Muhammadiyah terkait perbedaan Hari Raya Idulfitri 2023, tidak termasuk kategori kebebasan berpendapat.

    “Perbuatan Hasanuddin telah memenuhi unsur pidana, baik dari sisi tindakan penghasutan, ujaran kebencian, maupun dampak perbuatannya yang menimbulkan kegaduhan. Pernyataan Hasanuddin bukanlah bentuk kebebasan berpendapat bukan pula kebebasan bagi seorang peneliti,” ujar Ismail dalam keterangannya, Senin (24/4/2023).

    Ismail mengatakan pernyataan Hasanuddin yang disertai ancaman pembunuhan mengafirmasi dan mendukung pernyataan provokatif profesor BRIN Thomas Djamaludin. Menurut dia, Thomas juga rutin menyebarkan pendapat terkait perbedaan penetapan Hari Raya Idulfitri, tetapi sangat tendensius dan sinikal pada ijtihad Muhammadiyah.

    Senada dengan Thomas, Nadirsyah Hosen, pemikir Indonesia yang bermukim di Australia juga menyampaikan kritik serupa terhadap warga Muhammadiyah yang memperjuangkan hak beribadah.

    “AP Hasanuddin mengakui cuitannya di media sosial sekaligus menegaskan bahwa akun yang bersangkutan bukan di-hack dan telah meminta maaf melalui pernyataan terbuka. Permintaan maaf dan pengakuan Hasanuddin boleh diapresiasi tetapi tidaklah cukup untuk menyelesaikan masalah. Perbuatan Hasanuddin telah memenuhi unsur pidana,” jelas Ismail.

    Ismail menilai cara beberapa pemikir merespons perbedaan hari raya menunjukkan penerimaan atas perbedaan dan keberagaman yang rapuh dan miskin perspektif. Alih-alih menjadi penyeru toleransi atas perbedaan, kata dia, sejumlah pemikir justru melakukan bullying terhadap kelompok yang berbeda.

    “Inilah salah satu filosofi mengapa ujaran kebencian, diskriminasi, penghasutan kemudian dikualifikasi sebagai tindak pidana. Bahkan Setara Institute sejak lama memperkenalkan istilah condoning dan pelarangannya bagi pejabat publik,” ungkap dia.

    “Condoning yang diartikan sebagai pernyataan pejabat publik yang berpotensi menimbulkan kebencian terhadap kelompok tertentu dan berpotensi menimbulkan kekerasan, secara etis adalah pelanggaran serius, sekali pun condoning belum dikualifikasi sebagai tindak pidana,” tutur Ismail menambahkan.

    Menurut Ismail, selain mendorong terus penghargaan atas kemajemukan, publik juga mesti memperjuangkan kebertahanan kemajemukan itu. Karenanya, kata dia, masyarakat tidak hanya menerima pluralisme sebagai fakta sosio-antropologis bangsa, tetapi juga mempertahankan pluralisme agar tetap eksis.

    “Jika tindakan seperti yang dilakukan AP Hasanuddin dibiarkan, maka atas nama pluralisme pula orang bisa melakukan represi terhadap yang lain,” tegas dia.

    Lebih lanjut, dia mengatakan Setara Institute mendesak Kapolri, Jenderal Listyo Sigit untuk merespons dan menyikapi secara cepat dan tepat peristiwa tersebut. Termasuk merespons secara presisi sejumlah laporan yang akan dilayangkan oleh beberapa pihak atas pernyataan AP Hasanuddin.

    “Pembiaran tindakan seperti yang dilakukan oleh AP Hasanuddin akan mendorong terjadinya normalisasi kebencian dan normalisasi pluralisme represif,” kata Ismail.(wartabanjar.com/berbagai sumber)

    editor : didik tm

    Baca Juga :   KPK Enggan Ungkap Peran Ahmadi Noor Supit di Kasus Suap Audit BPK Papua Barat

    Baca Lebih Lengkapnya Instal dari Playstore WartaBanjar.com

    BERITA LAINNYA

    TERBARU HARI INI