Sungguh ironis sekali jika saya yang pernah menjadi orang nomor “satu” di jajaran Tanfidziah PWNU ikutan debat soal politik praktis, dan dukung mendukung dalam kontestasi politik, yang menurut norma serta aturan di NU sudah talak 3 (tiga) sejak Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984. Hingga detik ini, secara formal AD/ART NU tetap mencantumkan aturan tersebut, termasuk hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur, tahun 2015 silam. Jika hari ini masih ada aktor-aktor politik yang tetap nongkrong dalam struktur NU, ya itu soal sikap dan karakter pemimpinnya. Mereka mungkin tak setuju dengan AD/ART NU, serta memberikan tafsir versi mereka itu sendiri.
Tetapi sesungguhnya, jika para jemaat dan pemimpin NU itu mau mempelajari ulang qaidah yang selama ini menjadi pegangan NU, dari ulama-ulama ahlussunnah wal-jamaah yang mereka yakini benar dan rasional, maka keruwetan-keruwetan yang melanda jam’iyah NU, berikut jamaahnya, tentu tak akan terjadi. Misalnya, terkait jemaat NU rame-rame berpolitik praktis, sekali lagi berpolitik praktis, maka qaidah yang berbunyi “dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih” (mencegah kerusakan lebih baik daripada mengambil keuntungan) menjadi relevan sebagai bahan pertimbangan. Apa untungnya bagi NU jika jam’iyah NU diboyong ke kehidupan politik praktis ? Inilah yang harus diintrospeksi oleh elite dan jemaat NU.
Secara pribadi, pasti ada keuntungannya. Bahkan mungkin sangat banyak. Mulai dari material, hingga jabatan-jabatan. Namun secara institusi, justru banyak mudhoratnya. Barangkali kita tak bisa melupakan, ketika NU dipaksa oleh rezim Orde Baru di bawah Soeharto yang menerapkan penyederhanaan partai politik, di mana NU harus bergabung PPP. Gara-gara NU bergabung PPP ini, hingga sekarang saya masih terngiang di telinga cerita Allah Yarham KH Syafriansyah, BA, Ketua PWNU Kalsel tahun 1980-an.