Kini, suara nyaring dari rakyat kebanyakan ini membuat junta tidak nyaman. Keputusan harus diambil, dan Facebook pun diblokir.
Pertanyaannya efektifkah langkah ini? Sampai kapan Myanmar tahan tanpa Facebook ketika Tatmadaw dan keluarganya sendiri pun sudah kecanduan Facebook?
Kolumnis The Irrawaddy, Aung Zaw, mempunyai jawaban agak jenaka untuk itu, sekaligus menguakkan fakta mencengangkan mengenai Myanmar belakangan tahun ini.
Sekilas tentang The Irrawaddy. Media ini didirikan pada 1993 oleh sekelompok wartawan Mynamar yang mengasingkan diri di Thailand. Tahun itu belum berbentuk laman web.
Wartawan-wartawan ini dulunya para aktivis yang terpaksa meninggalkan Myanmar guna menghindari persekusi militer akibat gerakan pro-demokrasi 1988.
Menyuburkan perlawanan
Menulis pada 29 Januari atau dua hari sebelum kudeta 1 Februari, Aung Zaw mengisahkan kekhawatiran seorang kolega dari luar negeri mengenai kemungkinan internet dan media sosial diblokir, seandainya kudeta terjadi.
Sang kolega menulis di Facebook seandainya Facebook dan internet dimatikan, maka “Rakyat akan memberontak. Bukan memberontak demi demokrasi, melainkan gara-gara ponselnya dirampas” karena dipakai untuk mengakses Facebook.
“Saya bilang pada sahabat saya itu tenang saja karena saya tahu banyak perwira militer dan keluarganya sudah kecanduan media sosial dan Facebook. Jika internet dimatikan, mereka (militer) juga akan memberontak, bukan hanya rakyat,” kata Aung Zaw.
Tulisan Aung Zaw itu memang sinisme, tetapi menguakkan fakta bahwa Facebook sudah demikian merasuki rakyat Myanmar. Bahkan konon, mantan pemimpin militer Jenderal Than Shwe yang sudah berusia 80-an tahun dan hobi membaca garis tangan, berselancar setiap hari di Facebook.