“Maka yang lahir bukanlah keadilan sosial, tapi ketimpangan akses atas pemahaman regulasi. Kita tidak sedang menyelesaikan masalah, kita sedang mengasingkan pelaku usaha dari proses belajar dan tumbuh,” jelas Qomal.
Qomal turut melontarkan pertanyaan sederhana. Mengapa dalam kasus ini tidak melibatkan lembaga pendidikan, asosiasi profesi hingga komunitas kreatif untuk bersama-sama menciptakan lingkar belajar bagi UMKM agar sadar hukum, kualitas dan berdaya saing.
“Saya tidak ingin UMKM tidak tumbang bukan karena produknya gagal. Tapi karena sistem yang terlalu cepat menghukumnya,” tegasnya.
Qomal berharap, melalui kasus ini semua pihak dapat belajar untuk lebih mendengar. Bukan sekedar mengadili. “Karena bagi, saya di balik kemasan sederhana sebuah produk rumahan, ada harapan banyak orang untuk mandiri, bertumbuh dan untuk bermartabat sebagai warga ekonomi lokal yang punya tempat di negeri sendiri,” tutupnya. (IKhsan)
Editor Restu