Salah satu aturan yang menuai protes adalah kewajiban menunjukkan KTP saat membeli gas subsidi.
“Sekarang kalau mau beli gas harus pakai KTP. Masalahnya, nggak semua orang bisa beli di pangkalan terdekat. Kalau nggak sesuai domisili, ya nggak bisa beli. Jadi makin ribet,” kata Bahar.
Ia juga menyoroti jumlah pangkalan yang terbatas. Dalam satu lingkungan, jumlah pangkalan yang melayani kebutuhan warga sering kali tidak mencukupi.
“Misalnya, dalam satu RT cuma ada satu pangkalan. Sedangkan warganya ada ratusan rumah tangga. Akhirnya, antreannya panjang banget,” papar Bahar.
Bahar berharap pemerintah segera meninjau kembali kebijakan ini agar tidak semakin menyulitkan pedagang kecil.
“Kami ingin gas tetap tersedia dan harganya stabil. Kalau harus antre seharian dan harganya mahal, usaha kami bisa mati,” ucap Bahar.
Hal senada juga dirasakan oleh Rian, seorang pedagang nasi goreng di Jalan Veteran, Kecamatan Banjarmasin Timur.
Ia mengatakan bahwa gas LPG 3 kg semakin sulit ditemukan di wilayahnya.
“Di sekitar Banjarmasin ini gas langka. Kalau pun ada, harganya mahal. Bisa sampai Rp45.000-Rp50.000 per tabung. Itu pun harus berebut dengan yang lain,” tutur Rian.
Meskipun Rian menyadari bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menertibkan distribusi gas bersubsidi agar tepat sasaran.
Namun, dia berharap pemerintah bisa menyesuaikan mekanismenya agar tidak merugikan pedagang kecil.
“Kami mendukung kebijakan pemerintah, tapi tolong jangan sampai kami yang dirugikan. Pedagang kecil sangat bergantung pada gas ini,” tegasnya.