Menurut Syekh Wahbah, dalam mazhab Maliki ada yang disebut sebagai perwalian umum dengan satu syarat, ia merupakan orang Islam. Orang ini dapat menjadi wali bagi beberapa kelompok orang, di antaranya adalah perempuan yang tidak memiliki nasab. Syekh Wahbah menyebut: “Perwalian umum: dimiliki dengan satu sebab, yaitu Islam. Perwalian ini untuk semua orang Islam. Yang melaksanakannya adalah salah satu dari mereka dengan cara seorang perempuan minta diwakilkan kepada salah seorang Islam untuk melaksanakan akad perkawinannya. Syaratnya, dia tidak memiliki bapak atau orang yang diwasiatkan oleh bapaknya; dan dia adalah perempuan rakyat jelata bukan seorang perempuan bangsawan. Perempuan rakyat jelata adalah perempuan yang tidak memiliki kecantikan, harta, nasab, kehormatan, dan keturunan. Orang yang tidak memiliki nasab adalah anak perempuan yang lahir hasil hubungan zina, atau syubhat atau budak perempuan yang dimerdekakan.” (Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid IX, hal. 180).
Meskipun umumnya di Indonesia menggunakan mazhab Syafi’i dalam peraturan pernikahan, hanya saja dalam kasus penanya, akad yang digelar saat itu apabila ditinjau dalam mazhab Syafi’i tidak sah.
Hanya saja, pendapat dalam mazhab Maliki yang telah dijelaskan dapat menjadi alternatif bagi penanya, sehingga pernikahan pun menjadi sah. Demikianlah jawaban yang kami berikan, kiranya mohon maaf apabila ada kekurangan dan kesalahan kata. Wallahu a’lam (Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darus Sunnah Jakarta). (sumber: NU Online)