Beberapa mazhab fiqih pada dasarnya tidak banyak berbeda tentang pendapat seputar jumlah rakaat tarawih.
Sebagaimana disebutkan Ibnu Rusyd dalam Bidâyatul Mujtahid, beda jumlah ini adalah soal afdhaliyah saja.
Imam Malik bin Anas pada salah satu pendapatnya, kemudian Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan begitu pula Dawud azh Zhahiri, memilih untuk tarawih dengan 20 rakaat.
Ada juga pendapat yang menyatakan tarawih itu sejumlah 36 rakaat, meski tidak populer.
Imam Ibnu Qudamah mencatat dalam al-Mughni bahwa sebab perbedaan ini adalah dasar hadits dan riwayat sahabat yang digunakan.
Imam Malik bin Anas, sebagaimana ulama lain, menggunakan riwayat dari Yazid bin Ruman yang mauquf atau disandarkan pada perilaku sahabat, bahwa orang-orang sembahyang tarawih pada masa Umar bin Khattab dengan dua puluh rakaat, diimami sahabat Ubay bin Ka’ab.
Hal ini berbeda dengan keterangan yang disampaikan salah satu ahli hadits generasi awal, yaitu Abu Bakar bin Abi Syaibah, yang juga guru Imam Malik.
Ia menyebutkan menemui orang-orang di Madinah shalat sebanyak 36 rakaat.
Kalangan yang berpendapat bahwa tarawih dilakukan delapan rakaat menyandarkan pada hadits, yang artinya: Diriwayatkan dari Abu Salamah, ia pernah bertanya kepada Aisyah: “Bagaimana shalat Nabi Muhammad di bulan Ramadhan?” Aisyah menjawab,“Beliau tak menambah pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat: shalat empat rakaat, yang betapa bagus dan lama, lantas shalat empat rakaat, kemudian tiga rakaat. Aku pun pernah bertanya: Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum menunaikan shalat witir? Beliau menjawab: “mataku tidur, tapi hatiku tidak.”