Meski demikian, dia mengakui perjalanan penyusunan RUU KUHP tidak selalu mulus.
Pemerintah dan DPR sempat dihadapkan dengan pasal-pasal yang dianggap kontroversial, di antaranya pasal penghinaan Presiden, pidana kumpul kebo, pidana santet, vandalisme, hingga penyebaran ajaran komunis.
Namun, Yasonna meyakinkan masyarakat bahwa pasal-pasal dimaksud telah melalui kajian berulang secara mendalam.
Dia menilai pasal-pasal yang dianggap kontroversial ini bisa memicu ketidakpuasan golongan-golongan masyarakat tertentu.
Dia mengimbau pihak-pihak yang tidak setuju atau protes terhadap RUU KUHP dapat menyampaikannya melalui mekanisme yang benar.
Masyarakat, katanya, diperbolehkan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“RUU KUHP tidak mungkin disetujui 100 persen. Kalau masih ada yang tidak setuju, dipersilakan melayangkan gugatan ke MK,” jelasnya.
Perluasan Jenis Pidana Kepada Pelaku Tindak Pidana
Selanjutnya, dia menjelaskan bahwa pengesahan RUU KUHP tidak sekadar menjadi momen historis karena Indonesia kini memiliki KUHP sendiri, namun juga RUU KUHP menjadi titik awal reformasi penyelenggaraan pidana di Indonesia melalui perluasan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana.
Yasonna menjelaskan terdapat tiga pidana yang diatur, yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus.
Dalam pidana pokok, RUU KUHP tidak hanya mengatur pidana penjara dan denda, tetapi juga menambahkan pidana penutupan, pidana pengawasan serta pidana kerja sosial.
“Perbedaan mendasar adalah RUU KUHP tidak lagi menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif dan dijatuhkan dengan masa percobaan 10 tahun,” tutur Yasonna.