WARTABANJAR.COM, JAKARTA – Ketika sebagian besar liga top Eropa seperti La Liga, Bundesliga, dan Serie A menikmati masa libur musim dingin, Liga Inggris justru bersiap menyuguhkan jadwal padat yang dikenal dengan sebutan Boxing Day. Tradisi ini merupakan salah satu ciri khas sepak bola Britania Raya yang tetap menyelenggarakan pertandingan kompetitif tepat sehari setelah hari raya Natal, yakni pada tanggal 26 Desember setiap tahunnya.
Istilah Boxing Day sendiri sebenarnya tidak berkaitan dengan olahraga tinju, melainkan berakar dari tradisi pemberian kado atau “box” kepada para pekerja di Inggris pada zaman dahulu. Dalam konteks sepak bola, momen ini telah bergeser menjadi hiburan utama bagi keluarga yang mengisi waktu libur mereka dengan datang langsung ke stadion untuk mendukung tim kebanggaan di tengah udara musim dingin yang ekstrem.
Bagi para pemain dan manajer, Boxing Day sering kali dianggap sebagai periode “gila” karena menuntut kebugaran fisik dan kedalaman skuat yang luar biasa dalam waktu yang singkat. Tim-tim peserta Liga Inggris biasanya dipaksa melakoni dua hingga tiga pertandingan dalam kurun waktu kurang dari satu pekan, sebuah tantangan besar yang sering kali menjadi titik balik penentuan gelar juara atau zona degradasi.
Kritik sering kali datang dari para manajer asing yang belum terbiasa dengan intensitas jadwal tanpa libur musim dingin tersebut, karena dianggap meningkatkan risiko cedera pemain. Namun, otoritas liga dan pemegang hak siar tetap mempertahankan tradisi ini karena nilai komersial yang sangat tinggi serta antusiasme penonton global yang selalu melonjak drastis saat jeda kompetisi negara lain.

