VIDEO – Negara Pilih Kasih? Rolex vs Realita Atlet Non-Sepakbola!

    WARTABANJAR.COM-‎Pemberian jam tangan mewah oleh Presiden Prabowo Subianto kepada skuad Timnas Indonesia sebagai bentuk apresiasi atas keberhasilan mereka menembus babak playoff Piala Dunia 2026 telah menimbulkan pertanyaan mendasar di ruang publik. Meski telah diklarifikasi bahwa hadiah tersebut berasal dari dana pribadi Presiden-bukan APBN, isu yang muncul bukan semata tentang sumber dana tetapi tentang keadilan, prioritas, dan keberpihakan negara terhadap seluruh atlet yang telah mengorbankan hidup mereka demi Indonesia.

    ‎Salah satu suara paling vokal datang dari Lindswell Kwok, mantan atlet wushu nasional dan peraih emas Asian Games. Ia menyinggung kenyataan pahit di balik euforia sepak bola: atlet-atlet wushu muda yang sudah menjalani pelatnas selama berbulan-bulan tiba-tiba dipulangkan secara sepihak melalui aplikasi Zoom, dengan dalih efisiensi anggaran. Ironis, saat satu cabang olahraga diperlakukan layaknya pahlawan nasional, cabang lain yang tidak kalah berprestasi justru “dibuang” dengan cara yang nyaris tak manusiawi.

    ‎Kritik juga datang dari publik figur seperti Ernest Prakasa, yang dengan lantang mempertanyakan konsistensi narasi efisiensi anggaran yang diusung pemerintah, namun di sisi lain justru menunjukkan simbolisme kemewahan di tengah situasi ekonomi yang menuntut kesederhanaan. Kritik ini tidak bisa dianggap remeh atau sekadar “kegaduhan dunia maya” ia mencerminkan keresahan nyata dari publik terhadap arah kebijakan negara.

    ‎Padahal, Indonesia memiliki barisan atlet luar biasa di luar sepak bola: Susi Susanti membawa pulang emas Olimpiade pertama lewat bulu tangkis, Eko Yuli Irawan dan Windy Cantika Aisah menjaga tradisi medali dari cabang angkat besi, Chris John mendunia lewat tinju, Defia Rosmaniar meraih emas di taekwondo, dan Lindswell Kwok sendiri menjadi ikon wushu Asia. Apa yang membedakan mereka dari pemain sepak bola? Hanya satu: tidak ada stadion yang bersorak dan kamera yang terus menyorot.

    ‎Bila negara hanya hadir untuk memberi penghargaan kepada yang populer, bukan kepada yang berprestasi, maka pesan yang ditanamkan adalah: prestasi tanpa sorotan tidak akan dihargai.

    ‎Sudah saatnya pemerintah berhenti menjadikan olahraga sebagai panggung simbolis belaka. Apresiasi harus dibangun di atas asas keadilan dan prestasi, bukan popularitas atau sentimen politik. Jika tidak, kita bukan hanya gagal dalam membina atlet, tapi juga gagal dalam memanusiakan mereka.(vri/berbagai sumber)

    Baca Juga :   VIDEO - UNIK! Bocah 9 Tahun di Brasil Naik Babi ke Sekolah, Bikin Heboh Warganet

    Baca Lebih Lengkapnya Instal dari Playstore WartaBanjar.com

    BERITA LAINNYA

    TERBARU HARI INI