Namun, dalam kasus Banjarbaru, diskualifikasi paslon nomor urut 2 terjadi setelah proses pencetakan dan distribusi surat suara selesai. Mengganti atau mencetak ulang surat suara dalam waktu singkat menjelang hari pemungutan suara akan menghadapi tantangan logistik dan anggaran yang signifikan.
Praktik yang Umum Dilakukan:
Dalam situasi serupa, KPU biasanya tetap menggunakan surat suara yang telah dicetak.
Pemilih tetap diberikan pilihan untuk mencoblos paslon yang tersisa.
Suara yang diberikan kepada paslon yang didiskualifikasi dianggap tidak sah dan tidak dihitung dalam penentuan hasil pemilihan.
Kesimpulan:
Meskipun secara ideal surat suara seharusnya menampilkan kotak kosong jika hanya ada satu paslon, dalam praktiknya, terutama jika diskualifikasi terjadi mendekati hari pemungutan suara, KPU tidak diwajibkan secara hukum untuk mencetak ulang surat suara dengan format kotak kosong.
Hal ini mempertimbangkan keterbatasan waktu, biaya, dan logistik.
Oleh karena itu, dalam kasus Banjarbaru, KPU kemungkinan besar tetap menggunakan surat suara yang ada tanpa menambahkan kotak kosong.
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), kewenangan untuk mendiskualifikasi pasangan calon (paslon) berada pada:
1. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
• Pasal 71 Ayat (5) UU Pilkada menyatakan bahwa pasangan calon dapat dibatalkan keikutsertaannya dalam pemilihan jika terbukti melanggar ketentuan tertentu, seperti penyalahgunaan wewenang, penggunaan fasilitas negara, atau politik uang.
• Keputusan pembatalan dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota atau KPU Provinsi (tergantung tingkat pemilihan) setelah adanya kajian dan bukti atas pelanggaran administratif atau pidana.