“Yang hasil vonis kemarin laporan model A, pelapornya polisi. Polisi melaporkan kejadian Kanjuruhan dengan terdakwa polisi makanya kemudian sanksinya dari 80 orang yang dihadirkan, 60 orang dari pihak Polisi. Jarang disidang itu korban dihadirkan sebagai saksi. Jadi bias akhirnya,” ucap Fachrizal.
Fachrizal mengungkap, dari awal keluarga korban berusaha melaporkan laporan model B namun ditolak alasannya karena nebis in idem.
“Mulai dari Polda ke Polda ditolak. Alasannya mengada-ada waktu itu belum putusan sudah dianggap nebis in idem. Secara hukum idem adalah perkara yang sudah diputus padahal saat itu belum diputuskan. Laporan ke Polres yang lain sama dianggap tidak memenuhi unsur. Ini juga offside,” jelasnya.
Secara hukum, lanjut Fachrizal, polisi tidak boleh menolak alasan tersebut. Pembuatan unsur-unsur itu di persidangan bukan di penyidik.
“Sampai hari ini keadilan jauh belum ditegakkan,” ungkapnya.
Terkait pasal perlindungan anak Laporan LPSK hampir 40 persen korban tragedi Kanjuruhan adalah anak-anak.
“Saya kira ini harus diperiksa kok bisa menurunkan personil lengkap menembakkan gas air mata apalagi diketahui gas air mata yang digunakan sudah kadaluarsa di bawah pertandingan yang penontonnya anak-anak,” terangnya.
Fachrizal menegaskan hingga saat ini penyelidikan polisi belum mengarah ke sana.
LPBHNU mendesak polisi segera memeriksa Brimob, Kapolda, untuk dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran disiplin etik ketika mengerahkan pasukan gas air mata.
“Ini sudah hampir satu tahun kesannya malah menutup-nutupi dengan korban dikasih santunan. Itu ada ratusan korban. Apakah santunan itu menyelesaikan masalah? Ada yang puteranya meninggal, ada yang kemudian bapak ibunya meninggal jadi yatim mendadak. Itu gimana masa depannya?” ucap Fachrizal.