Jika kegelisahan publik atas putusan tersebut tidak ditindaklanjuti lebih lanjut, dikhawatirkan martabat dan integritas lembaga peradilan akan tercoreng.
Padahal, menurut Didik, martabat dan integritas lembaga peradilan sejatinya bersumber pada integritas dan kualitas para hakimnya.
“Parameter yang terukur untuk menilai kualitas dan kompetensi hakim salah satunya adalah melalui putusannya. Dengan demikian harapannya pengawasan dan pembinaan para hakim juga bisa lebih terukur dan obyektif,” jelas Legislator dari Dapil Jawa Timur IX itu.
Didik pun menyoroti bagaimana vonis hukuman berada jauh dari tuntutan jaksa yakni menuntut terdakwa dengan pidana penjara 7 tahun. Hal ini mengingat karena putusan majelis hakim di bawah 2/3 dari tuntutan penuntut umum.
“Sesuai aturan, jaksa penuntut umum harus banding karena hukuman yang dijatuhkan di bawah 2/3 dari tuntutan,” ucap Didik.
Berkaca pada realita penegakan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual yang selama ini masih kurang optimal, Didik menilai peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum sepenuhnya mampu merespons fakta kekerasan seksual yang terjadi dan berkembang. Baik di tingkat masyarakat, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap perkara kekerasan seksual.
Anggota Banggar DPR ini juga menilai peraturan yang eksisting selama ini masih belum memperhatikan hak korban dan cenderung menyalahkan korban. Untuk itu, Didik mendorong penegak hukum agar menerapkan UU TPKS pada setiap perkara kekerasan seksual. “Pemberlakuan UU TPKS menjadi kebutuhan mendesak agar bisa mencegah jatuhnya korban kekerasan seksual,” terangnya.