Dalam banyak hal militer juga membutuhkan media sosial, terutama untuk menyebarkan pesan-pesan mereka sendiri, salah satunya dalam memuluskan orkestra politik militeristisnya di negara bagian Rakhine, jauh sebelum pembantaian Rohingya terjadi pada 2017.
Media sosial memang telah membantu memupuk sentimen anti-Rohingya lewat hoaks dan ujaran kebencian yang disebarluaskan sekutu-sekutu militer. Dan ini mempermudah jalan dan bahkan menjadi legitimasi untuk eksterminasi Rohingya.
Salah satu ujaran kebencian itu berasal dari posting biksu ekstrimis anti-muslim, Ashin Wirathu.
Pada 2014, dia membagikan posting pemerkosaan oleh para pemuda muslim terhadap seorang gadis Budha yang viral di Facebook namun ternyata terbukti bohong besar.
Tetapi kebencian sudah terlanjur merasuki bagian besar penduduk. Tinggal menunggu pemantik saja untuk naik ke tingkat lebih esktrem.
Dan ketika pemantik itu muncul setelah Arakan Rohingya Salvation Army menyerang pos-pos Tatmadaw di perbatasan Myanmar-Bangladesh, Tatmadaw pun mendapatkan jalan untuk melancarkan apa yang sebelumnya sudah dipupuk lewat kampanye hasutan di media sosial dan kemudian disebut PBB sebagai genosida Rohingya itu.
Mengutip BBC, para penyidik hak asasi manusia PBB sendiri menyimpulkan bahwa sejak lama ujaran kebencian di Facebook memainkan peran penting dalam menggerakkan kekerasan di Myanmar.
Oleh karena itu, memblokir Facebook, media sosial atau internet ketika mayoritas rakyat Myanmar sudah menganggap internet dan media sosial bagian tak terpisahkan dalam hidupnya, bisa kontraproduktif bagi junta dan sebaliknya makin membesarkan antipati rakyat terhadap junta.