WARTABANJAR.COM – Berdasarkan data QAir tahun 2022, Indonesia menduduki peringkat nomor 26 sebagai negara dengan polusi udara terburuk di dunia. Sedangkan Jakarta per 6 Agustus 2023 memiliki tingkat polusi tidak sehat dengan 161 indeks kualitas udara dengan konsentrasi 8,4 kali nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pun menyoroti bahaya polusi udara di Jakarta dan sekitarnya sebagai salah satu pemicu penyakit asma kambuh.
“Asma adalah penyakit penyempitan saluran napas karena ada pencetusnya. Dari luar adalah polusi udara, asap rokok, hingga stres yang merupakan faktor harus dikontrol,” kata Ketua Kelompok Kerja Asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) PDPI, Budhi Antariksa.
Sementara itu kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan dan Sumatera menimbulkan masalah baru, khususnya penyakit yang menimpa masyarakat sekitar dan pencemaran lingkungan akibat polusi udara.
Siapa pun setuju, peristiwa kabut asap ini tidak baik untuk kesehatan. Saat terpapar kabut asap, setidaknya orang akan mengalami batuk-batuk, sesak napas, dan iritasi mata. Salah satu penyakit utama yang bisa menyerang warga sekitar adalah asma, paparan dari kabut asap merupakan penyebab terjadinya gejala asma dan yang terparah memicu serangan jantung.
PDPI melaporkan paparan polusi udara membahayakan kesehatan penderita asma yang jumlahnya mencapai 7 persen atau setara 18 juta orang di Indonesia pada 2022. Menurut Budhi, puskesmas perlu ditingkatkan sebagai lini pertama untuk diagnosa dan pengobatan asma agar pasien dapat mengendalikan penyakitnya sejak dini. Alasannya, asma merupakan bagian dari 144 diagnosa penyakit yang dapat ditangani di puskesmas sesuai dengan kompetensi dokter umum.
Polusi udara yang berkepanjangan tentu berpengaruh pada kesehatan, terutama penyakit yang terkait dengan pernapasan seperti asma.
Pada Jumat (11/8/2023), konsentrasi polutan particulate matter 2.5 (PM 2,5) sebesar 107,4 mikrogram per meter kubik atau 21 kali lipat dari batas aman WHO.
“Ada sejumlah penyakit respirasi yang diakibatkan polusi udara dengan prevalensi tinggi. Polusi udara menyumbang 15-30 persen,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melalui keterangan tertulis beberapa waktu lalu.
Penyakit asma merupakan penyakit pernapasan kronik yang bisa diderita anak-anak sampai dewasa. Asma dapat muncul karena adanya reaksi terhadap faktor pencetus yang mengakibatkan penyempitan dan pembengkakan pada saluran pernapasan.
Faktor pencetus asma berbeda-beda, mulai dari cuaca dingin, stres, dan juga polusi udara serta asap rokok.
Berdasarkan data Global Burden Diseases 2019 Diseases and Injuries Collaborators, asma termasuk dalam lima penyakit respirasi penyebab kematian tertinggi di dunia, selain penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), pneumonia, kanker paru, dan tuberkulosis.
Ketua Pokja Asma dan PPOK dari Pehimpunan Dokter Paru Indonesia dr.Budhi Antariksa Sp.P(K), menyebut bahwa polusi udara menjadi salah satu pencetus asma.
“Asma adalah penyakit penyempitan saluran nafas karena ada pencetusnya. Dari luar adalah polusi udara, asap rokok hingga stres yang merupakan faktor harus dikontrol,” kata dr Budhi.
Hal ini juga cukup menghawatirkan di mana prevalensi penyandang asma di Indonesia per tahun 2022 mencapai 7 persen atau 18 juta orang.
Masalah ini turut menekan anggaran BPJS Kesehatan yang selalu meningkat setiap tahun. Pneumonia menelan anggaran sebesar Rp 8,7 triliun, tuberkulosis Rp 5,2 triliun, PPOK Rp 1,8 triliun, asma Rp 1,4 triliun, dan kanker paru Rp 766 miliar.
Peran Puskesmas
Menurut dr. Budhi, Puskesmas perlu ditingkatkan sebagai lini pertama untuk diagnosa dan pengobatan asma agar pasien dapat mengendalikan penyakit asma dengan baik sejak dini.
Ini dapat dilakukan karena penyakit asma merupakan bagian dari 144 diagnosa penyakit yang dapat ditangani di Puskesmas, sesuai dengan Kompetensi Dokter Umum.
“Dokter umum punya kompetensi, diagnosis, bagaimana kontrol asma, gejala hingga pemeriksaan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, salah satu faktor yang dapat mengakibatkan biaya pengobatan asma tinggi adalah akses obat di tingkat Puskesmas yang masih dalam bentuk obat oral tanpa inhalasi pengontrol yang sesuai.
Tanpa obat pengontrol asma, pasien asma beresiko mengalami eksarsebasi atau serangan asma. Problemnya adalah biaya penanganan asma bisa menjadi mahal, karena lebih dari 57,5% pasien asma mengalami kekambuhan serangan asma dan datang ke rumah sakit pada saat kondisi mereka sudah dalam keadaan tidak terkontrol.
Di Kota Bandung, saat ini telah dijalankan program PESAT (Pelayanan Asma Terpadu) di 30 UPT Puskesmas. Melalui program ini pasien asma bisa mendapatkan terapi obat serta pelayanan komprehensif meliputi edukasi, konsultasi, pengukuran ACT (Asthma Control Test) dan pelayanan rujuk balik bagi peserta BPJS Kesehatan.(wartabanjar.com/berbagai sumber)
editor : didik tm
Waspada Asma Kambuh! Polusi Udara dan Asap Kebakaran Lahan Makin Sering Terjadi
Baca Lebih Lengkapnya Instal dari Playstore WartaBanjar.com