Menelisik sejarahnya ke belakang, Mursalin mengisahkan, nama Syekh Abdul Hamid al-Banjari atau yang dikenal dengan Datu Abulung (1735–1788 M) adalah seorang ulama besar penganut ajaran Wahdatul Wujud yang pernah menimba ilmu di Mekkah.
Beliau kembali ke Banjar, menyebarkan ajaran Ilmu Sabuku, sebuah konsep spiritual yang menegaskan kesatuan mutlak antara Tuhan dan hamba-Nya.
“Gelar Datu yang disematkan kepadanya menunjukkan statusnya sebagai tokoh adat setara pengetua, sementara gelar Syeikh menegaskan sanad keilmuan yang menghubungkannya hingga Haramain (Mekkah dan Madinah),” jelasnya.
Dalam ajaran Syeikh Datu Abulung, konsep Nur Muhammad menjadi inti kosmologi, yaitu cahaya awal ciptaan dari Dzat Allah yang darinya tercipta langit, ruh Nabi, dan seluruh alam semesta.
“Hal ini merujuk pada hadis qudsi Jabir yang menjadi rujukan sufisme di banyak belahan dunia Islam,” imbuh Mursalin.
Meski begitu, Datu Abulung tidak mengajarkan panteisme, melainkan fana’ dan baka’ atau kesadaran spiritual tertinggi yang menghapus ego demi menyatu dengan kehendak Ilahi, tanpa mengaburkan batas antara makhluk dan Sang Khalik.

“Beliau menjelaskan simbol alif-lam-lam-ha (Allah) sebagai representasi dari zat, sifat, asma, dan af‘al Tuhan. Melalui teori Martabat Tujuh, beliau mengajak manusia memahami asal dan tujuan penciptaannya,” paparnya.
Masjid Jami Syekh Abdul Hamid Abulung bukan hanya sebuah bangunan bersejarah, tetapi juga simbol dari tradisi keilmuan dan spiritual yang kaya di Banjar.