WARTABANJAR.COM, JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2024 tentang pemisahan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden kembali memanaskan ruang publik. Tak hanya menjadi perbincangan hangat di media sosial, Menurut Agung Laksono Ketua Majelis Pertimbangan Organisasai (MPO) Kosgoro 1957 putusan ini juga mengguncang diskusi-diskusi ketatanegaraan nasional. Banyak yang menilai MK telah melampaui kewenangannya, bahkan sampai disebut sebagai “super body” karena dianggap turut mengambil peran pembentuk undang-undang. Namun, di sisi lain, ada pula yang menilai putusan tersebut membuka peluang untuk memperbaiki efektivitas sistem pemilu di Indonesia.
Putusan ini menyentuh langsung aspek normatif dalam Undang-Undang Pemilu dan berpotensi mengubah arsitektur demokrasi elektoral di Indonesia. Jika dilaksanakan, Agung Laksono menambahkan antara pemisahan pemilu legislatif dan eksekutif bisa berdampak besar terhadap desain keserentakan pemilu yang sebelumnya telah diatur oleh MK sendiri melalui putusan sebelumnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan pemilu harus dilakukan serentak setiap lima tahun sekali.
Ketua DPR RI periode 2004-2009 Agung Laksono, angkat bicara soal dinamika ini. Menurutnya, putusan MK memang dilematis karena mengandung tafsir baru yang berbeda dari putusan sebelumnya. “Putusan ini memerlukan tindak lanjut berupa solusi legislasi karena menyangkut desain besar pemilu kita. Solusinya tidak bisa dilakukan oleh MK sendiri, melainkan oleh pembentuk undang-undang,” ujar Agung Laksono dalam diskusi yang digelar di The Sultan Hotel, Jakarta, Jumat, 18 Juli 2025. Ia juga menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh terjebak dalam kebingungan tanpa arah, melainkan harus menyikapi putusan ini secara konstruktif dan dewasa.