Sebelumnya pun, polling yang digelar oleh Washington Institute pada Desember 2023 menemukan bahwa 96 persen warga Saudi meyakini negara-negara Arab harus memutus hubungan diplomatik dengan Israel sebagai respons terhadap perang di Gaza.
Padahal, sebelum perang di Gaza terjadi, AS secara aktif menjadi mediator normalisasi hubungan diplomatik Arab Saudi dan Israel.
Kemudian di Uni Emirat Arab, 57 persen dari total responden mengatakan memboikot produk terafiliasi Israel.
Sementara di Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, survei menyatakan, satu dari dua warganya mengaku memboikot merek-merek terafiliasi Israel.
Jumlah responden di negara Arab dan Muslim yang memboikot produk terafiliasi Israel setelah perang di Gaza meletus, lebih tinggi dari angka rata-rata gerakan boikot di seluruh dunia sebesar 37 persen.
Aksi boikot ini paling dirasakan oleh perusahaan-perusahaan dari negara Barat.
Pada Maret lalu, raksasa retail Alshaya Group, yang memiliki hak membuka gerai-gerai Starbucks di Timur Tengah, memutuskan memecat hingga 2.000 staf mereka di kawasan itu dan di Afrika Utara atau empat persen dari total jumlah pekerja mereka.
Pemecatan itu sebagai dampak aksi boikot ini.
Tak hanya Starbucks, perusahaan makanan cepat saji McDonald’s juga terkena boikot ini.
CEO McDonald’s, Chris Kempczinski pada awal tahun ini juga mengungkapkan bahwa omzet penjualan mereka melemah di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Malaysia dan Indonesia, dan juga di Timur Tengah.
Pada Oktober 2023, langkah McDonald’s Israel yang mengumumkan pemberian makanan gratis untuk tentara IDF sempat memicu amarah aktivis pro Palestina.