Lebih lanjut dalam Hasyiyah Al-Bujairimi ‘alal Khatib diterangkan: “Ungkapan Mushanif: “Ibnu sabil diberikan (zakat) sejumlah harta yang dapat menyampaikannya ke tujuan”.
Adapun biaya kembalinya diperinci. Jika ia berniat kembali maka ia diberi biaya untuk pulang. Jika tidak, maka tidak diberi. Ia tidak diberi biaya mukim yang melebihi tiga hari (masa seorang musafir masih berstatus sebagai musafir).” (Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairimi, Hasyiyah al- Bujairimi ‘alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr], juz II, halaman 364).
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud ibnu sabil dalam mazhab Syafi’i adalah musafir atau orang yang baru memulai perjalanannya. Ia diberi zakat untuk membantunya sampai ke tempat tujuannya.
Adapun syarat-syaratnya adalah: Sangat membutuhkan, baik karena sama sekali tidak memiliki harta untuk sampai ke tujuannya atau sebenarnya ia memiliki harta bahkan kaya raya namun hartanya tidak berada di tempat ia berada.
As-Syatiri menambahkan tidak adanya orang yang mau mengutanginya.
Perjalanan yang ditempuh adalah perjalanan ketaatan bukan perjalanan maksiat. Adapun jika perjalanannya mubah (tidak dilarang syariat) menurut pendapat shahih tetap berhak menerima zakat.
Karena disamakan dengan safar mubah yang tetap mendapatkan rukhsah mengqasar shalat dan membatalkan puasa Ramadhan.
Dengan demikian ibnu sabil yang tidak boleh diberi zakat adalah orang yang melakukan perjalanan maksiat. Karena memberinya zakat sama artinya membantu kemaksiatannya.