Syekh Abu Bakr Syatha Ad-Dimyati dalam kitab I’anatut Thalibin menjelaskan: “Kesimpulannya, sungguh kaidah fiqih menurut ulama menyatakan, air yang tidak sengaja masuk ke dalam rongga tubuh dari aktivitas yang tidak dianjurkan, dapat membatalkan puasa, atau dari aktivitas yang dianjurkan meskipun anjuran sunah, maka tidak membatalkan. Dari kaidah ini, dapat dipahami tiga pembagian perincian hukum. Membatalkan secara mutlak, baik melebih-lebihkan (dalam cara menggunakan air) atau tidak.
Ini berlaku dalam permasalahan masuknya air dalam aktivitas yang tidak dianjurkan seperti basuhan ke empat, menyelam ke dalam air, karena makruh bagi orang yang berpuasa, mandi dengan tujuan menyegarkan atau membersihkan badan.
Membatalkan jika melebih-lebihkan, ini berlaku dalam aktivitas semacam berkumur yang dianjurkan saat berwudhu.
Tidak membatalkan secara mutlak meski melebih-lebihkan, ini berlaku ketika mulut terkena najis karena wajibnya melebih-lebihkan dalam membasuh najis bagi orang yang berpuasa dan lainnya agar anggota zhahir terbasuh (suci dari najis),” (Abu Bakr bin Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, juz II, halaman 265).
Pendapat Kedua mengatakan, telinga tidak termasuk rongga luar yang terbuka. Sehingga air yang masuk ke dalam telinga tidak menyebabkan puasa batal. Pendapat ini sebagaimana dikutip Syekh Muhammad bin Ahmad As-Syathiri dalam Syarhu Yaqutin Nafis.
Menurut beliau, pendapat ini adalah pendapat yang kuat sekalipun muqabil (lawan) dari pendapat yang Ashah. Beliau menjelaskan: “Saya ingat satu pendapat dalam mazhab Syafi’i yang merupakan lawan dari qaul ashah, bahwa puasa tidak batal sebab sampainya air ke telinga bagian dalam. Pendapat ini adalah pendapat kuat”. (Muhammad bin Ahmad As-Syathiri, Syarhu Yaqutin Nafis, [Beirut, Darul Minhaj], halaman 462)