Lebih detail mengenai pendapat mazhab Hanafi ini, Syekh Abdurrahman Al-Jaziri (wafat 1360 H) dalam ensiklopedi fiqih empat mazhabnya menyatakan:
ثَانِيْهِمَا: النِّيَّةُ… فَلَوْ لَمْ يُبَيِّتْ النِّيَّةَ بَعْدَ غُرُوْبِ الشَّمْسِ حَتَّى أَصْبَحَ بِدُوْنِ نِيَّةٍ مُمْسِكًا، فَلَهُ أَنْ يَنْوِيَ إِلَى مَا قَبْلَ نِصْفِ النَّهَارِ
Artinya, “Kedua, berniat … Apabila seseorang tidak niat di malam harinya setelah terbenamnya matahari hingga masuknya waktu subuh ia berpuasa tanpa niat, maka ia boleh niat di saat itu juga hingga sebelum masuknya separuh siang.” (Abdurrahman bin Muhammad Al-Jaziri, Al-Fiqhu ala Madzahibil Arba’ah, [Beirut: Dar Al-Kutub Ilmiyah], juz I, halaman 496).
Merujuk referensi ini, orang yang lupa belum niat puasa Ramadhan di malam hari, maka ia masih memiliki kesempatan untuk berniat di pagi harinya hingga sebelum masuknya separuh siang, dengan catatan bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah.
Niatan taqlid demikian dirasa perlu, sebab mayoritas umat muslim Indonesia merupakan pengikut mazhab Syafi’i yang mana secara ketentuan mengharuskan untuk melakukan praktik niat di malam hari.
Jika orang berniat puasa di pagi hari tanpa melakukan taqlid kepada Imam Abu Hanifah, maka ia sama saja dengan mencampuradukkan ibadah yang rusak.
Ini sebagaimana disinggung oleh Syekh Sulaiman Al-Jamal (wafat 1204 H) dalam kitab Futuhatul Wahhab:
كَمَا يُسَنُّ لَهُ أَنْ يَنْوِيَ أَوَّلَ الْيَوْمِ الَّذِيْ نَسِيَهَا فِيْهِ لِيَحْصُلَ لَهُ صَوْمُهُ عِنْدَ الْإِمَامِ أَبِيْ حَنِيفَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَوَاضِحٌ أَنَّ مَحَلَّهُ إذَا قَلَّدَ وَإِلَّا كَانَ مُتَلَبِّسًا بِعِبَادَةٍ فَاسِدَةٍ فِيْ اعْتِقَادِهِ وَهُوَ حَرَامٌ