WARTABANJAR.COM – Tiap 27 Rajab umat Islam memperingati Isra Mi’raj, yang merupakan sebuah perjalanan sakral Nabi Muhammad hingga mendapat perintah shalat lima waktu.
Tahun ini, Isra Mi’raj bertepatan jatuh pada Sabtu tanggal 18 Februari 2023.
Isra Mi’raj adalah dua peristiwa luar biasa dalam Islam, di mana Allah swt memperjalankan Nabi Muhammad dari Masjidilharam Makkah, menuju Masjidil Aqsha Paletina, kemudian nabi pergi melintasi lapisan-lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau pengetahuan malaikat, manusia, maupun jin, dengan mengendarai Buraq.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, yang artinya: “Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS Al-Isra’ [17]: 1).
Peristiwa bersejarah ini lumrah dirayakan oleh umat Islam, khususnya di Indonesia dengan beragam kegiatan dan motif yang berbeda-beda, seperti pengajian umum, zikir, shalawat, doa, kumpul-kumpul, makan-makan dan lainnya. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum perayaan tersebut?
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Makki al-Hasani membahas satu bab khusus perihal hukum merayakan hari-hari besar dalam Islam, seperti maulid nabi, Isra Mi’raj, malam Nishfu Sya’ban, hijrahnya nabi, dan lainnya.
“Telah berlaku suatu tradisi, yaitu berkumpul untuk mengenang beberapa peristiwa bersejarah, seperti maulid, memperingati isra mi’raj. Dalam anggapan kami, semua ini adalah murni tradisi yang tidak memiliki hubungan dengan hukum syariat, sehingga tidak bisa dianggap anjuran atau sunnah, sebagaimana ia tidak bertentangan dengan pokok dan beberapa pokok agama Islam.” (Sayyid Muhammad, al-Anwaru al-Bahiyyah min Isra wa Mikraji Khairil Bariyyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], halaman 83).