“Saya pikir cukup apabila anggaran dana desa dimanfaatkan secara efektif dan baik sesuai visi misi kades terutama skala prioritas kebutuhan masyarakat dan desa itu sendiri,” ucapnya.
“Yang saya tidak setuju sekarang ini adalah pemerintah dalam hal ini presiden dan menteri desa terkesan tidak ikhlas mengucurkan dana desa di seluruh Indonesia,” keluhnya.
Hal ini didasarkan pada pengalaman Sumarjin dalam menjalankan program-program sebagai kades yang sudah dijanjikan lewat visi misi kampanye dan RPJMDes.
“Ternyata anggaran dana desa sudah diatur penggunaannya lewat peraturan menteri desa sehingga kami terkesan tidak mampu menuntaskan janji saat kampanye baik dari sisi pembangunan maupun pemberdayaan di desa dalam menjalankan amanat rakyat sebagai kades,” tandasnya.
Sebelumnya, perangkat-perangkat desa menggelar aksi unjuk rasa secara nasional, termasuk di depan Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (17/1).
Mereka menuntut agar dilakukan revisi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Beberapa tuntutan dalam revisi UU Desa itu antara lain terkait masa jabatan kepada desa yang diinginkan sembilan tahun selama tiga periode.
Kemudian, soal moratorium pemilihan kepala desa, pejabat pelaksana dan persoalan dana desa.
Peneliti Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta Sunaji Zamroni atau Naji menyebut bahwa masa jabatan sembilan tahun membuka peluang besar penyelewengan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
“Karena kita tidak bisa menjamin cara pemilihan kades itu profesional dan mesti selalu memperoleh pemimpin desa yang bersih, jujur, dan amanah,” kata Naji.