Bahkan Ia mengaku, tidak pernah menerima dan mendisposisi permohonan pengalihan IUP yang diajukan oleh Henry.
Terdakwa menyebut, saat meneken persetujuan itu pun dilakukan secara bersama-sama dengan lebih dari seratus IUP lainnya dan bukan dilakukan secara khusus terhadap berkas pengalihan saja.
“Saat itu kurang lebih sebanyak 150 berkas yang saya tanda tangani, tidak hanya berkas itu (berkas pengalihan IUP OP) saja,” kata terdakwan, menjawab pertanyaan dari JPU.
Menurutnya, Dwijono juga tak pernah memberitahu, apalagi memperingatkan bahwa suatu pengalihan IUP tidak boleh dilakukan.
Mardani menyebut, rekomendasi dari Dwijono sebagai Kepala Dinas ESDM sebagai acuan baginya untuk menandatangani pengalihan IUP itu.
“Terlalu bodoh saya sebagai Bupati kalau saya tahu pengalihan itu dilarang tapi tetap saya lakukan,” ujar terdakwa.
Menyangkut adanya pengiriman dana dari PT Angsana Terminal Utama (ATU) kepada PT Permata Abadi Raya (PAR) dan PT Trans Surya Perkasa (TSP) yang merupakan anak perusahaan PT Batulicin Enam Sembilan dimana terdakwa merupakan Komisarisnya, Ia tak membantahnya.
Namun itu menurutnya merupakan hasil dari klausul kontrak kerjasama antar satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.
Sementara terkait pembelian sejumlah jam tangan mewah bernilai miliaran rupiah merek Richard Mille, terdakwa membantah, kalau dirinya yang meminta Henry untuk membayar jam tangan yang Ia pesan kepada penyedia jam tangan di Mall Grand Indonesia Jakarta.
“Tidak pernah saya meminta Henry, kalau saya memesan jam tangan saya selalu minta Rois (adik kandung terdakwa) untuk mengurus pembayarannya,” ucap terdakwa.