Pazri membeberkan, bahwa alasan kuat JR ini, karena jelas-jelas pada Proses Pembentukan UU Provinsi Kalsel tidak berdasar secara filosofis,sosiologis,yuridis dan historis bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sangat merugikan hak konstitusional masyarakat Banjarmasin dan Masyarakat Kalsel pada umumnya.
“Bahwa sangat banyak dugaan kejanggalan-kejanggalan, dari awal Rancangan Undang-Undang (RUU) terdiri dari 58 Pasal namun kemudian yang di sahkan hanya menjadi 8 Pasal yang tidak mengakomodir kebutuhan Kalsel ,tidak mengakomodir Kalsel sebagai penyangga Ibu Kota Negara (IKN). Dan pada Pembentukan UU Kalsel tidak sesuai Prosedur dan mekanisme, pembahasan yang sangat cepat, tidak terbuka/tidak transpraran,tidak ada partisipasi publik/masyarakat,” lanjutnya.
Bahwa seharusnya berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 Tentang Tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah.
Ayat (1) Lokasi calon ibukota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ditetapkan dengan keputusan gubernur dan keputusan DPRD provinsi untuk ibukota provinsi, dengan keputusan bupati dan keputusan DPRD kabupaten untuk ibukota kabupaten.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk satu lokasi ibukota.
(3) Penetapan lokasi ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis,
kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.