Namun yang perlu digarisbawahi, kata KH Mahbub, tradisi yang baik tersebut bisa saja tidak boleh dilakukan apabila di dalamnya mengandung kerusakan. Atau beresiko merusak ibadah lainnya. Misalnya, apabila mensakralkan suatu tempat mandi tertentu yang beresiko syirik, atau mandi bersama antara laki-laki dengan perempuan dalam satu tempat.
“Ikhtilatnya yang tidak boleh,” kata dia.
Ustadz Abdul Somad pun mengutarakan pendapatnya mengenai mandi yang berciri khas tradisi lokal.
Ulama yang berasal dari Pulau Emas alias Sumatera ini mengimbau kepada masyarakat di negeri Swarnadwipa (Sumatera Barat) untuk tidak melakukan tradisi mandi balimau.
Mandi yang dilakukan di sungai secara beramai-ramai itu dianggap sebagai tradisi mandi yang lebih banyak mengundang mudharat dibanding nilai ibadahnya.
Mandi balimau yang memiliki akar sejarah tentang mandi taubat itu sebetulnya, kata dia, telah mengalami pergerseran pemaknaan dalam realitanya.
Sehingga mandi yang biasanya dilakukan di tepian sungai dan danau itu kerap didatangi orang-orang tanpa memedulikan jenis kelaminnya.
Sehingga resiko bercampurnya laki-laki dengan perempuan dalam satu wadah permandian dinilai dapat mengundang mudharat bagi yang melaksanakan.
Dia pun mengimbau kepada masyarakat setempat bila hendak mandi taubat untuk melakukannya dari rumah masing-masing.
Mandi sebelum memasuk bulan Ramadhan dilakukan sebagai momen membersihkan tubuh dan jiwa.
Tujuan lain dari mandi sebelum bulan Ramadhan adalah untuk menyucikan diri dari hadas besar setelah kondisi junub.