“Kalau dihitung-hitung dari UMP kita yang sekarang, untuk kenaikan 1,01% itu tidak sampai seribu rupiah per hari kenaikannya, segitu cukup apa untuk kebutuhan para buruh,” tuturnya.
Penggunaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinilainya jadi biang kerok begitu kecilnya kenaikan UMP Tahun 2022.
Jika melihat dari waktu ke waktu beberapa tahun ke belakang, kenaikan UMP semakin kecil tiap tahunnya.
“Regulasi-regulasi yang dulu tidak pernah ada sejarahnya UMP naik 1 persen. Kenaikan terakhir dari 2019 ke 2020, naik 8 persen sekian. Itu pun kami tolak,” kata Yoeyoen.
“Bahkan yang sebelum-sebelumnya, UMP di Kalsel naik diangka dua digit, 11 persenan, bahkan sampai 21 persenan lah,” tambahnya.
Ia juga mengatakan, pandemi Covid-19 jangan dijadikan sebagai alasan pembenaran kecilnya kenaikan UMP Kalsel di tahun 2022.
Yoeyoen juga menuturkan, pihaknya berencana untuk berdiskusi dengan Gubenur Kalsel, berharap agar UMP Kalsel di tahun 2022 bisa mengalami kenaikan minimal 5 sampai 8 persen.
“Karena Gubernur masih punya wewenang untuk menetapkan UMP di daerahnya,” ucap Yoeyoen.
Selain itu juga, Yoeyoen juga mengungkapkan, apabila tidak bisa bertemu dengan Gubernur ataupun hasil dari pertemuan tidak seperti yang diharapkan, kaum buruh akan menggelar aksi akbar, sebagai wujud protes terhadap kenaikan UMP Kalsel yang hanya 1,01% saja.
“Kalau masih tidak menemukan hasil yang memuaskan, kami dari FSPMI dan juga dari aliansi buruh se Kalsel akan menggelar aksi akbar,” ungkap Yoeyoen.