Kini ia tidak tahu ke mana akan pergi setelah kontes berakhir.
Mahasiswi jurusan Bahasa Inggris di East Yangon University ini mengenal gerakan pro-demokrasi sejak kecil.
Ia dibesarkan di keluarga kelas menengah, di mana ayahnya seorang pengusaha dan ibunya seorang ibu rumah tangga yang tidak berani membicarakan pemerintahan militer yang sedang berkuasa.
Salah satu kenangan awalnya adalah berjalan dengan ibunya di dekat Pagoda Sule di pusat kota Yangon pada tahun 2007, ketika para biksu memimpin protes nasional menentang kekuasaan militer.
Kala itu ia berusia 7 tahun.
Saat mereka mendekati pagoda, tentara membubarkan protes dengan menembakkan senjata mereka ke udara.
Orang-orang mulai berlari.
Ia dan ibunya juga ikut lari.
“Kami sangat takut. Kami pergi ke rumah orang asing dan kami bersembunyi,” katanya.
Tak lama kemudian, militer menumpas gerakan protes tersebut dengan menembak puluhan orang, tetapi pada 2011, militer mulai berbagi kekuasaan dengan para pemimpin sipil dan membuka negara, memungkinkan ponsel dan akses internet yang terjangkau masuk.
Ma Thuzar Wint Lwin adalah bagian dari generasi pertama di Myanmar yang tumbuh terhubung sepenuhnya dengan dunia luar dan bagi mereka masyarakat bebas tampak normal.
Pada 2015, di negara ini pejabat dipilih secara demokratis untuk pertama kalinya dalam lebih dari setengah abad.
“Kami telah hidup dalam kebebasan selama lima tahun. Jangan bawa kami kembali. Kami tahu semua tentang dunia. Kami memiliki internet,” katanya.
Dia mulai menjadi model ketika masih di sekolah menengah dan setelah ayahnya pensiun guna membantu menghidupi keluarganya.