WARTABANJAR.COM – Tujuan akhir dari puasa adalah agar hamba Alloh yang mendiami bumi ini menjadi orang-orang yang bertaqwa.(QS, al-Baqarah:183).
Ruchman Basori, Kepala Pusat Pembiayaan Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (PUSPENMA) Sekretariat Jenderal, Kementerian Agama RI, dalam tulisan dilansir Kemenag, menulis bahwa Imam Fakhruddin Ar-Razi menafsirkan bahwa puasa mewariskan takwa (bagi yang melakoninya), yang bentuknya berupa penaklukan syahwat dan pengendalian hawa nafsu.
Puasa juga menghalangi seseorang bersikap angkuh dan berlaku keji.
Hal itu dikarenakan puasa berfungsi sebagai pengendali syahwat perut (lapar-haus) dan farji (jima’).
A-Razi memandang bahwa makna la’allakum tattaqun adalah supaya kalian bertakwa kepada Allah dan meninggalkan syahwat.
Sebab sesuatu yang begitu disenangi cenderung susah untuk ditahan.
Kesenangan manusia pada urusan perut dan kawin lebih kuat dari pada urusan lainnya, sehingga jika kalian (umat Islam) mudah melakoni taqwallah dengan meninggalkan urusan perut dan kawin, maka taqwallah dengan meninggalkan urusan-urusan selainnya tentu akan lebih mudah.
Dalam konteks EQ, bahwa puasa menjadi piranti penting untuk melatih pengendalian diri, kesadaran diri dan motivasi untuk berbuat baik dan meninggalkan yang buruk adalah pesan penting dari puasa.
Orang yang puasa harus menjaga lisan dan perbuatan, termasuk dilarang untuk marah dan mengumbar nafsu.
Orang yang berpuasa dianjurkan untuk berderma (bersedekah).
Al-Quran dan hadits dengan sangat gamblang telah memandunya. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling gemar bersedekah.