WARTABANJAR.COM, JAKARTA – Hasil Pilpres 2024 berdasarkan quick count semua lembaga survei kredibel menempatkan Prabowo-Gibran menang telak dengan angka 58-60 persen dari Paslon 01 Anies-Muhaimin 24-25 persen serta Paslon 03 Ganjar-Mahfud diangka 15-17 persen. Bahkan hasil itu juga tidak jauh berbeda dengan hasil real count sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, meskipun hasil resmi rekapitulasi manual baru akan diumumkan KPU RI pada tgl 20 Maret 2024 nanti.
Menurut Direktur Eksekutif Sentral Politika, Subiran Paridamos, kendati Paslon 01 dan 03 masih memiliki langkah politik untuk menggugat hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK), menggugat pelanggaran administrasi di Bawaslu serta menggugat tuduhan tidak netral dari penyelenggara ke DKPP, tetapi berdasarkan sejarah Pilpres yang ada, sangat sulit untuk membuktikan kecurangan dengan selisih 30 persen.
“Jangankan 30 persen, selisih dibawah 10 persen saja sebagaimana Pilpres 2014 dan 2019 sangat sulit untuk dibuktikan. Artinya jika selisihnya 30 persen, maka pihak 01 dan 03 harus mampu membuktikan tuduhan kecurangan sebagaimana narasi yang selama ini mereka mainkan di kurang lebih 300.000 TPS lebih,” papar Subiran seperti dikutip WARTABANJAR.COM.
Menurut penulis 9 buku politik dan 2 buku tentang jurnalis ini, ada inisiatif lain yang dihembuskan oleh Ganjar dan Anies yakni merekomendasikan kepada partai pengusung mereka untuk menggunakan hak angket DPR. Tujuannya agar skema kecurangan bisa terbongkar. Tapi sikap ini dipandang justru hanya akan memperuncing perdebatan bahkan bisa berakibat pada perpecahan bukan hanya di kalangan elite tapi bisa memprovokasi rakyat di lapangan untuk terlibat chaos dan bentrok.
“Sebab kubu 02 tidak akan rela kemenangannya yang 58 persen dipilih rakyat di TPS, tiba-tiba dianulir oleh 295 kursi koalisi 01 dan 03 dengan tuduhan kecurangan. Lagi pula di dalam hak angket ini tercium gelagat untuk menolak hasil pemilu, dan bisa saja dipergunakan untuk menyasar impeachment Presiden Jokowi,” katanya.
Dinamika inilah yang justru akan semakin memperuncing dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Semua sepakat jika pihak yang kalah menggunakan instrumen gugatan ke MK, Bawaslu dan DKPP jika memang belum puas dengan kekalahan. Tetapi di lain pihak butuh kearifan dan kedewasaan politik dari kubu yang kalah untuk mengakui kekalahannya tanpa memproduksi narasi kecurangan.
Prabowo sendiri juga pernah mengalami kekalahan di Pilpres 2009, 2014, dan 2019, narasi kecurangan TSM juga dihembuskan ketika itu.
Baca juga: Makan Siang Gratis Masuk Rancangan APBN 2025? FITRA: Sungguh Kelancangan Teknokratis
“Tapi Prabowo tampil sebagai sosok negarawan yang mengakui kekalahannya. Ia menerima silaturahmi lawan politik dan yang lebih hebat lagi adalah datang langsung diacara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih,” jelasnya.
Karena itulah, butuh sikap negarawan dari Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud untuk kemudian menyatakan bahwa Pilpres sudah selesai. Sudah waktunya semua pihak baik 01, 02 dan 03 bersatu kembali sebagai sebuah bangsa.
“Tidak mesti juga semuanya harus masuk pemerintahan, tetapi sudah tepat ada yg berposisi sebagai oposisi, sehingga ada penyeimbang kekuasaan di luar pemerintahan,” katanya.
Namun tidak menolak juga jika memang Prabowo-Gibran merangkul Nasdem dan PKB untuk bergabung di pemerintahan. Karena kedua partai ini memang punya riwayat selalu bergabung dengan pemerintahan. Sementara PDIP dan PKS sudah tepat untuk menjadi oposisi.
“Kalaupun tergoda untuk masuk pemerintahan, juga sebenarnya tidak jadi masalah. Hanya saja kalau semua partai masuk pemerintahan, lantas siapa yang bisa mengontrol jalannya pemerintahan dimasa depan?” ujarnya.
Atau bisa saja PKB, Nasdem PKS dan PDIP berkomitmen untuk berada di luar pemerintahan. Itu juga baik. Intinya adalah akhirilah narasi kecurangan pemilu, jika semua proses dan instrumen politik sudah digunakan misalnya MK, Bawaslu, DKPP, dll.
“Dan saya termasuk orang yang berharap Anies-Muhiamin dan Ganjar-Mahfud hadir dalam pelantikan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Agar tradisi yang selama ini dicontohkan oleh Prabowo yang selalu hadir di pelantikan lawan politiknya dalam hal ini Presiden Jokowi terus menjadi pembelajaran dan teladan politik yang berkesinambungan dimasa depan,” pungkas Subiran. (Sidik Purwoko)
Editor: Sidik Purwoko