WARTABANJAR.COM – Di tengah hiruk pikuk Kota Nanjing, Tiongkok, berdiri seorang pria sederhana yang telah menjadi cahaya bagi ratusan jiwa di ambang keputusasaan. Namanya Chen Si, pria yang selama lebih dari dua dekade menghabiskan setiap akhir pekannya di Jembatan Sungai Yangtze, jembatan terbesar dan tersibuk di negeri itu.
Sejak tahun 2003, Chen menjadikan jembatan itu sebagai tempat pengabdian sunyi — bukan untuk bekerja, melainkan untuk menyelamatkan nyawa.
Selama 21 tahun, ia telah menyelamatkan hampir 500 orang yang hendak mengakhiri hidupnya. Tanpa jabatan, tanpa uang, Chen hanya bermodalkan empati dan kebaikan hati yang tulus.
Chen tidak berteriak. Ia mendengarkan.
Ia tidak menghakimi. Ia mengulurkan tangan.
Setiap kali melihat seseorang berdiri sendiri di tepi jembatan, ia mendekat perlahan, lalu berkata lembut,
“Ceritakan padaku apa yang membuatmu terluka. Mari kita cari jalan lain.”
Antara tahun 1968 hingga 2006, tercatat lebih dari 2.000 orang melompat dari jembatan tersebut. Namun sejak Chen mulai menjaga di sana, banyak di antara mereka yang akhirnya memilih hidup kembali.
Di balik keteguhannya, Chen menyimpan kisah pribadi: dulu, ia sendiri pernah tersesat dan diselamatkan oleh kebaikan seorang asing. Kini, setiap Sabtu dan Minggu, dari pukul 8 pagi hingga 5 sore, ia membalas kebaikan itu — satu jiwa, satu harapan, satu hari pada satu waktu.
Ia tak pernah menyebut dirinya pahlawan. Tapi bagi ratusan keluarga yang anak, ayah, atau ibu mereka pulang dengan selamat, Chen adalah malaikat tanpa sayap, bukti bahwa kepedulian sekecil apa pun dapat mengubah takdir seseorang.

