WARTABANJAR.COM, JAKARTA – Setahun sudah berlalu sejak berakhirnya masa transisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), namun pelaksanaan nyata dari regulasi tersebut belum dirasakan publik. Di tengah derasnya ancaman kebocoran data dan kejahatan digital, pelindungan yang dijanjikan undang-undang masih sebatas harapan.
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Dr. Pratama Persadha, menilai kondisi ini sebagai tanda lemahnya keseriusan negara dalam menegakkan kedaulatan data. Ia menyebut, selama setahun terakhir masyarakat terus menjadi korban pencurian data, penipuan daring, hingga penyalahgunaan identitas digital. “Tanpa lembaga pengawas dan penegakan hukum yang kuat, perlindungan data pribadi hanya akan menjadi simbol, bukan tindakan,” ujarnya.

Padahal, UU PDP secara tegas mengamanatkan pembentukan Badan Pelindungan Data Pribadi (Badan PDP) sebagai lembaga independen pengawas kepatuhan. Namun, hingga kini badan tersebut belum juga dibentuk Presiden, dan Peraturan Pemerintah (PP) pelaksana pun belum diterbitkan. Menurut Pratama, situasi ini membuat sistem perlindungan data kehilangan arah dan kejelasan hukum.
“Badan PDP bukan sekadar kebutuhan administratif, melainkan urgensi strategis nasional. Lembaga ini harus independen, dipimpin oleh sosok berkompetensi tinggi, dan memahami betul dinamika keamanan siber,” tegasnya. Ia menambahkan, tanpa kepemimpinan yang memahami sisi teknis serangan digital dan tata kelola data lintas sektor, upaya pelindungan data akan stagnan.

