Fadli Zon juga menegaskan pentingnya ketahanan pangan yang berakar pada kearifan budaya bangsa.
“Di Bali, misalnya, sistem irigasi subak bukan hanya metode pertanian, tetapi juga manifestasi budaya gotong royong serta keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas,” jelasnya.
Sistem ini telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia sejak 2012.
Berbagai model pangan lokal juga dapat menjadi solusi berkelanjutan, seperti sagu di Papua dan Maluku, ubi dan jagung di Nusa Tenggara, serta sistem minyak padi di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
“Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan bukan hanya warisan, tetapi juga solusi bagi ketahanan pangan masa depan,” ucap Fadli.
Ketahanan pangan berbasis budaya harus menjadi bagian dari strategi nasional agar kita tidak hanya swasembada, tetapi juga berdaulat secara ekonomi dan identitas.
Selain itu Fadli Zon mengatakan bahwa kerja sama dengan insan pers sangat penting, tidak hanya dalam mengawal kebijakan pangan, tetapi juga dalam kemajuan kebudayaan.
“Banyak tokoh pers nasional yang juga berperan dalam bidang kebudayaan, oleh karena itu, Kementerian Kebudayaan terbuka untuk berkolaborasi dalam mendukung digitalisasi hasil kebudayaan dan sejarah bangsa,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa kita harus berkolaborasi agar dapat menjadi rujukan akademik dan publik yang lebih luas.
Ia menyatakan komitmen pemerintah dalam memfasilitasi insan pers dan sastrawan untuk berkarya melalui festival literasi dan kolaborasi budaya.
Kementerian Kebudayaan akan bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan lembaga pers lainnya guna meningkatkan program pelatihan jurnalisme budaya.