Pelanggan mulai merasa frustrasi dengan harga yang kian melambung, proses pengambilan pesanan lambat di aplikasi dan pilihan makanan yang terbatas.
Sementara itu, Starbucks, yang selama ini dikenal sebagai perusahaan dengan nilai-nilai progresif, juga dihadapkan pada tuntutan serikat pekerja yaitu para karyawannya mengeluhkan kondisi kerja, gaji, dan tunjangan yang mereka anggap kurang memadai.
Tak hanya itu, demi menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, Starbucks telah melakukan transisi dari perusahaan konvensional menjadi bisnis berbasis dalam jaringan atau online.
Aplikasi seluler dan pemesanan lewat drive-thru kini menyumbang lebih dari 70% penjualan di sekitar 9.500 gerai yang dikelola perusahaan ini di Amerika Serikat.
Hal ini, ternyata membawa tantangan baru, yaitu beberapa pelanggan merasa bahwa pengalaman berkunjung ke Starbucks telah menjadi terlalu “transaksional” dengan menu yang membingungkan, produk yang tidak konsisten, dan waktu tunggu yang lama.
Dalam suratnya, Niccol mengakui bahwa toko-toko Starbucks perlu berubah.
Ia kini memfokuskan pada pemberdayaan para barista dan memastikan mereka memiliki alat dan waktu untuk membuat minuman yang lezat.
Terkait masalah pemesanan melalui gawai, ia juga telah menyiapkan strategi khusus agar pesanan melalui ponsel yang menumpuk tidak lagi membebani toko dan pekerja. (berbagai sumber)
Editor: Yayu