WARTABANJAR.COM – Bagaimana kalau tertinggal saat shalat Idul Fitri 2023 berjamaah? Begini tata caranya.
Di antara hal yang dianjurkan pada hari raya Idul Fitri ialah melangsungkan shalat Ied.
Sholat Idul Fitri 2023 dilaksanakan pada pagi hari tanggal 1 Syawal 1444 H.
Biasanya umat muslim akan berbondong-bodong memenuhi lokasi untuk menunaikan ibadah sholat Idul Fitri berjamaah.
Pasalnya hukumnya Shalat Ied sunah muakkad (sangat dianjurkan). Shalat Ied disyariatkan pada tahun kedua Hijriah.
Namun tidak semua orang bisa tepat waktu datang ke lokasi shalat Idul Fitri.
Ada saja kendala yang terjadi hingga menyebabkan seseorang terlambat datang sholat berjamaah.
Biasanya jamaah yang terlambat datang setelah imam selesai melakukan takbir zawaid (takbir tambahan).
Ada pula yang datang setelah imam sampai pada rakaat kedua.
Jika kedua situasi ini terjadi apa yang harus dilakukan?
Tata Caranya
Dikutip dari NU Onlie, shalat Ied kerap dilakukan oleh Rasulullah SAW hingga beliau wafat. Lantas dilanjutkan oleh para sahabat dan umatnya sampai sekarang. Adapun perihal syarat dan rukun shalat Ied ini sama halnya dengan pelaksanaan ibadah shalat fardhu dan sunah pada umumnya.
Namun dalam praktiknya, shalat Idul Fitri cukup berbeda dengan shalat sunah lainnya. Saat melakukan shalat Idul Fitri disunahkan melakukan takbir sebanyak tujuh (7) kali pada rakaat pertama, serta takbir lima (5) kali pada rakaat kedua. Kendati demikian, masih terdapat beberapa jamaah yang datang telat mengikuti pelaksanaan shalat Idul Fitri, sedangkan imam sudah beranjak membaca surat Al-Fatihah.
Di antara mereka masih banyak yang kebingungan dan bertanya-tanya, apakah saat tertinggal takbir dalam shalat Idul Fitri, makmum disunahkan untuk membaca takbir sendiri atau tidak?
Menurut ketetapan ilmu fiqih, saat seseorang tertinggal takbir akibat telat mengikuti pelaksanaan shalat Idul Fitri maka ia tidak disunahkan menambahi takbir sendiri atau membacanya. Sebab tempat disunahkan takbir adalah sebelum imam membaca surat Al-Fatihah. Hal ini selaras dengan pendapat yang diutarakan oleh Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’isyan (wafat 1270 H) dalam kitabnya:
وَوَقْتُ الْتَّكْبِيْرَاتِ الْمَذْكُوْرَةِ (بَيْنَ الْإِسْتِفْتَاحِ وَالْتَّعَوُّذِ) فَلَوْ تَرَكَهَا وَلَوْ سَهْوًا، وَشَرَعَ فِيْ الْتَّعَوُّذِ، أَوْ فِيْ قِرَاءَةِ الْسُّوْرَةِ قَبْلَ الْفَاتِحَةِ .. لَمْ تَفُتْ، أَوْ فِيْ الْفَاتِحَةِ هُوَ أَوْ إِمَامُهُ قَبْلَ تَمَامِ الْمَأْمُوْمِ الْتَّكْبِيْرَاتِ الْمَذْكُوْرَةِ .. فَاتَتْ؛ لِفَوَاتِ مَحَلِّهَا، فَلاَ يَتَدَارَكَهَا
Artinya: “Waktu takbir yang telah disebutkan ialah antara bacaan iftitah dan ta’awudz. Apabila ia meninggalkannya meski dalam kondisi lupa, lantas beranjak membaca ta’awudz atau membaca surat sebelum bacaan Al-Fatihah, maka kesunahan takbir tersebut tidak hilang. Jika seseorang meninggalkan takbir dan mulai membaca surat Al-Fatihah atau imam sudah beranjak membaca Al-Fatihah sebelum makmum menyempurnakan takbir, maka hilanglah kesunahan takbir. Sebab waktu takbir sudah hilang dan tidak perlu melakukan takbir susulan.” (Sa’id bin Muhammad Ba’isyan, Busyral Karim bi Syarhi Masailit Ta’lim, [Jeddah: Darul Minhaj], halaman 424).
Setelah ditelusuri, ternyata argumentasi yang dibangun oleh fuqaha yang menyatakan tidak disunahkan untuk menambahi takbir kembali ialah, sebab bila imam sudah membaca surat Al-Fatihah sedangkan makmum malah beranjak membaca takbir, maka akan terjadi mukhalafah (perbedaan perbuatan yang dilakukan oleh imam dan makmum) yang tidak diperkenankan saat melakukan shalat secara berjamaah. Padahal imam harus diikuti oleh makmum dalam segala aspek, sebagaimana disampaikan dalam hadits:
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ
Artinya: “Sesungguhnya tujuan imam didirikan ialah untuk diikutii, maka janganlah kalian berbeda dengannya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Mengenai hal tersebut, pemuka mazhab Syafi’i Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat 974 H) memberikan penjelasan yang cukup gamblang:
وَلَوْ نَسِيَهَا أَوْ تَعَمَّدَ تَرْكَهَا كَمَا عُلِمَ بِأَوْلَى (وَشَرَعَ) فِي التَّعَوُّذِ لَمْ تَفُتْ أَوْ (فِي الْقِرَاءَةِ) وَلَوْ لِبَعْضِ الْبَسْمَلَةِ أَوْ شَرَعَ إمَامُهُ وَلَمْ يُتِمَّهَا هُوَ (فَاتَتْ) لِفَوَاتِ مَحَلِّهَا فَلَا يَتَدَارَكُهَا وَيُفَرَّقُ بَيْنَ مَا هُنَا وَعَدَمِ فَوَاتِ نَحْوِ الِافْتِتَاحِ بِشُرُوعِ الْإِمَامِ فِي الْفَاتِحَةِ بِأَنَّهُ شِعَارٌ خَفِيٌّ لَا يَظْهَرُ بِهِ مُخَالَفَةٌ بِخِلَافِهَا، فَإِنَّهُ شِعَارٌ ظَاهِرٌ لِنَدْبِ الْجَهْرِ بِهَا وَالرَّفْعِ فِيهَا كَمَا مَرَّ فَفِي الْإِتْيَانِ بِهَا أَوْ بِبَعْضِهَا بَعْدَ شُرُوعِ الْإِمَامِ فِي الْفَاتِحَةِ مُخَالَفَةٌ لَهُ
Artinya: “Apabila seseorang lupa takbir atau meninggalkannya dengan sengaja lantas beranjak membaca ta’awudz, maka kesunahan bacaan takbir tersebut tidak hilang; atau ia beranjak membaca surat meskipun hanya separuh dari bacaan basmalah; atau imamnya beranjak dan tidak menyempurnakan bacaannya, maka kesunahan bacaan takbir tersebut hilang, sebab hilangnya tempat kesunahannya. Karenanya tidak perlu melakukan takbir susulan. Hal ini dibedakan dengan tidak hilangnya kesunahan membaca doa iftitah dengan beranjaknya imam membca surat Al-Fatihah, bahwa hal tersebut merupakan syi’ar yang khafi (samar) dan tidak jelas menampakkan mukhalafah (perbedaan perbuatan yang dilakukan imam dan makmum). Beda halnya dengan bacaan takbir, karena sesungguhnya bacaan takbir termasuk kategori syi’ar zhahir (jelas), sebab sunah membaca keras takbir dan mengangkat tangan saat melakukannya. Karenanya, membaca takbir atau melakukan sebagiannya setelah imam beranjak membaca Al-Fatihah dikategorikan sebagai mukhalafah.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra], juz III, halaman 44).
Senada dengan statemen yang diutarakan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami, Syaikhul Islam Syekh Zakariya Al-Anshari (wafat 926 H) menegaskan:
وَتَابَعَا إمَامَهُ فِي سِتِّ تَكْبِيرَاتِ، أَوْ فِي الثَّلَاثِ لَوْ بِهِنَّ يَأْتِي إمَامُهُ، وَلَا يَزِيدُ عَلَيْهِنَّ سَوَاءٌ اعْتَقَدَ إمَامُهُ ذَلِكَ أَمْ لَا لِخَبَرِ «إنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ» ، فَلَوْ أَدْرَكَهُ فِي الثَّانِيَةِ كَبَّرَ مَعَهُ خَمْسًا، ثُمَّ فِي ثَانِيَتِهِ لَا يُكَبِّرُ إلَّا خَمْسًا؛ لِأَنَّ فِي قَضَاءِ ذَلِكَ تَرْكُ سُنَّةٍ أُخْرَى
Artinya: “Dan makmum harus mengikuti imamnya dalam enam (6) takbir atau dalam tiga (3) takbir yang dilakukan oleh imamnya, dan ia tidak diperkenankan untuk menambahinya. Entah ia meyakini imamnya atau tidak. Sebab terdapat hadits: “Sesungguhnya tujuan imam didirikan ialah untuk diikuti, karenanya janganlah kalian berbeda dengannya”, sehingga apabila makmum menemukan imam pada rakaat kedua, ia harus takbir bersama imam sebanyak lima (5) kali, kemudian dalam rakaat keduanya juga tidak boleh melakukan takbir kecuali sebanyak lima (5) takbir. Karena menambahi takbir atau melakukan takbir susulan sama saja dengan meninggalkan kesunahan yang lainnya.” (Zakariya Al-Anshari, Al-Ghurarul Bahiyyah fi Syarhil Bahjahtil Wardiyah, [Mesir: Al-Mathba’ah Al-Maimuniyyah], juz II, halaman 54).(wartabanjar.com/berbagai sumber)
editor : didik tm
Ketinggalan Shalat Berjamaah Idul Fitri, Apakah Menambah Takbir Sendiri atau? Begini Penjelasannya
Baca Lebih Lengkapnya Instal dari Playstore WartaBanjar.com