Metode ini terdiri atas 2 jilid buku ajar dan tidak ada media pendukung yang lain.
Awalnya, metode Al-Banjari terdiri dari 4 jilid yang disusun Drs. H. Djamani (Alm) dan Drs. Aspihan Djamran (Alm).
Namun, dengan adanya perkembangan yang sangat pesat di bidang Ilmu Teknologi (IPTEK), maka metode Al-Banjari dijadikan 2 jilid dengan hasil beberapa percobaan di SD/MI dan TPA/Q.
Sistem pembelajaran yang digunakan masuk dalam kategori metode talaffudzi dengan pendekatan suku kata, yakni metode langsung baca tanpa eja.
Al-Banjari tumbuh dan berkembang di Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin. Sayangnya tidak dapat lebih jauh, sehingga pengguna metode ini terbatas di Banjarmasin.
Tidak beruntung lagi, metode ini hanya bertahan beberapa tahun saja, alias tidak dapat berkembang lama. Di antara penyebabnya, telah digunakan metode-metode lain di Kalimantan Selatan secara massif, seperti metode Iqra’ yang digerakkan melalui lembaga TK/Taman Pendidikan Al-Qur’an yang dikoordinir oleh BKPRMI melalui pelatihan maupun penataran guru-guru Al-Qur’an.
Oleh karenanya, masyarakat Kalimantan Selatan lebih mengenal dan menggunakan metode Iqra’ daripada Al-Banjari.
Hal lainnya lagi, metode Al-Banjari hanya digunakan pada lingkungan pendidikan formal, terutama SD dan MI.
Dengan demikian, praktik Al-Banjari di Banjarmasin sudah tidak ditemukan sama sekali, jika tidak dikatakan tidak digunakan TK/Taman Pendidikan Al-Qur’an. (sumber NU Online)
Editor: Erna Djedi