PLN juga mendorong pemanfaatan teknologi seperti Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) untuk menangkap emisi karbon pembangkit dan dimanfaatkan untuk kebutuhan sektor perindustrian. Selain itu, Darmawan juga memulai tata kelola baru limbah pembangkit dengan pemanfaatan Fly Ash and Bottom Ash (FABA) dari PLTU.
Potensi FABA dari seluruh PLTU PLN di Indonesia, sangat besar. Sehingga selain mengurangi emisi, pemanfaatan FABA akan memunculkan berbagai usaha baru dan penyerapan tenaga kerja di masyarakat.
“PLN memiliki potensi FABA sangat besar, puluhan juta ton setiap tahunnya. Untuk itu kami mengajak berbagai pelaku industri besar maupun UMKM untuk memproduksi material konstruksi dengan bahan FABA,” imbuh Darmawan.
Dengan penambahan kapasitas pembangkit EBT skala besar, maka akan ada tantangan fluktuasi dari sisi pasokan listrik. Hal ini disebabkan karena EBT memiliki sifat intermiten yaitu sangat tergantung pada kondisi alam. Sehingga PLN menerapkan Smart Grid dalam sistem kelistrikan yang memungkinkan dampak intermitensi pasokan listrik EBT dapat dikelola dengan stabil.
“PLN sudah merombak tata kelola kelistrikan dengan digitalisasi end to end. Dari pasokan energi, pembangkitan, transmisi, distribusi sampai ke rumah-rumah pelanggan sudah dikelola secara terintegrasi. Fluktuasi di sisi demand dan supply akan langsung direspon secara otomatis. Inilah yang kami namakan Smart Grid,” papar Darmawan.
Transisi energi menjadi agenda yang diterapkan berbagai negara di Dunia. Banyak entitas bisnis yang menjadi potensi pasar untuk produk green energy as a service. Sejak tahun 2021, Darmawan menginisiasi kolaborasi bersama lembaga sertifikasi internasional untuk merilis produk Renewable Energy Certificate (REC). Sehingga untuk pertama kalinya Indonesia memiliki produk energi hijau yang diakui dan akan mengekspansi pasar internasional.