Sementara itu, diketahui peraturan berseragam di sekolah negeri yang tercantum melalui Peraturan Menteri Mendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 memang memberi opsi bagi siswa-siswi untuk memilih menggunakan seragam pendek, seragam panjang, maupun jilbab.
Namun kenyataannya, kasus dugaan pemaksaan dan pelarangan menggunakan atribut keagamaan pada seragam sekolah memang kerap mengemuka di setiap tahun ajaran baru.
Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan aturan berseragam di sekolah negeri yang tercantum melalui Peraturan Menteri Mendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 sebetulnya memberi opsi bagi siswa-siswi untuk memilih menggunakan seragam pendek, seragam panjang, maupun jilbab.
Tetapi kenyataannya, kasus pemaksaan dan pelarangan atribusi keagamaan pada seragam sekolah memang cenderung meningkat selama 10 tahun terakhir.
“Ini yang menjadi tanda tanya, mengapa dengan adanya aturan yang seharusnya mengakhiri justru masih terus terjadi, berarti kan selama ini tidak ada evaluasi,” kata Satriwan ketika dihubungi pada Senin (01/08).
Tetapi dia menilai kondisi saat ini pun bisa dibilang tidak lebih baik dibanding masa lalu.
Sejarah menunjukkan bahwa negara bertindak represif terhadap penggunaan jilbab di sekolah pada masa Orde Baru.
Praktik kebebasan memilih seragam itu, menurut Satriwan, sempat terlaksana cukup baik pada era 2000-an awal yang masih merupakan masa transisi dari era Orde Baru menuju era demokrasi pasca-reformasi.
“Pada masa transisi itu bisa dibilang lebih bebas dan kebebasan itu yang kemudian diformalkan melalui Permendikbud Nomor 45 Tahun 2015 itu. Mau pakai seragam pendek boleh, panjang boleh, kerudung boleh. Di situ kami berharap (intoleransi) berakhir, tapi ternyata masih terus berulang,” kata dia. (berbagai sumber)