“Salah satunya, seperti saat saya menjabat sebagai kadis ESDM Kabupaten Tanbu, prestasi yang pernah saya buat adalah membuat dan mengonsep peraturan tentang tata cara usaha untuk menambang batu bara,” bebernya.
Selanjutnya, pada tahun 2011 terdakwa dihubungi dan diminta oleh Bupati Kabupaten Tanbu, untuk bertemu dengan Hendri Soetio, dengan maksud untuk diminta mengalihkan IUP dari PT. BMPE ke PT. PCP.
Sekembalinya terdakwa ke Tanbu, setelah bertemu dengan Hendri Soetio, menurut Raden Dwidjono, dirinya sempat ragu untuk melakukan peralihan IUP tersebut, karena merasa hal tersebut melanggar adminiatrasi.
Setelah itu, terdakwa juga sempat berkonsultsi dengan pihak Kementerian ESDM terkait hal tersebut, dan pihaknya pun menyebutkan kalau hal tersebut bertentangan dengan UU Minerba.
“Hal tersebut, sudah saya sampaikan kepada Pak Bupati pada saat itu, namun Pak Bupati tetap memerintahkan saya untuk memproses peralihan IUP tersebut. Karena jika itu melanggar UU, itu hanya melanggar tata usaha negara atau administrasi saja,” ucap terdakwa.
“Saat itu saya tidak berdaya, karena diperintah pimpinan untuk tetap memproses hal tersrbut,”
Selain itu, dari pengakuan Hendri Soetio kepada terdakwa, kalau dirinya diminta fee oleh Bupati Tanbu pada saat itu.
Hal tersebut juga diperkuat dengan pengakuan saksi adik dari Hendri Soetio, yang mengatakan kalau saat itu Bupati Tanbu mendapat aliran dana sebesar 98 Miliar.
Sebagaimana memberikan rasa keadalian yang sama dihadapan hukum, tutur terdakwa, maka Bupati sebagai pucuk pimpinan dan juga yang mengeluarkan SK, seharusnya juga diminta pertanggung jawaban, bahkan juga seharusnya diberikan sanksi.