“Sudah pasti akan menimbulkan kecemburuan sosial, misalnya orang Cikoko di daerah Jakarta Selatan bisa aja bilang “memang yang banjir cuman Kampung Melayu doang, Pak?”,” kata Gembong saat dihubungi melalui telepon, Senin (5/4).
Gembong mengatakan, program penanganan banjir seharusnya tidak seperti yang dilakukan Pemprov DKI di Kampung Melayu dengan meninggikan rumah warga. Menurut dia, program tersebut sangat tidak elok jika dikatakan sebagai solusi untuk penanganan banjir di DKI Jakarta.
“Enggak bisa mengatasi banjir sepotong-sepotong, enggak bisa sesuai selera. Normalisasi, tidak ada cara lain, kalau daerah banjir tidak ada cara lain selain normalisasi,” kata Gembong.
Disebutkan bahwa, pembangunan 40 rumah panggung yang kaki-kakinya setinggi 3,5 meter di Kampung Melayu itu dimaksudkan agar tidak ada lagi perabotan rumah warga yang terendam saat banjir.
Pembangunan 40 rumah di RT 13, RT 11, RT 5 dan RT 6 di RW 04 Kampung Melayu, Jakarta Timur tersebut yang nilainya Rp78 juta per rumah, seluruhnya menggunakan dana dari Baznas dan tidak menggunakan anggaran dari APBD DKI Jakarta.
Rumah panggung tersebut nantinya akan memiliki tiga lantai, dengan lantai pertama dimanfaatkan untuk tempat produksi UMKM warga seperti kue kering yang menjadi ciri khas UMKM di Kampung Melayu. Sedangkan lantai 2-3 dijadikan tempat aktivitas rumah tangga untuk warga. (ant)
Editor: Erna Djedi