Artinya Tuan Guru Bakhiet itu memiliki Nasab Mulia dan Hasab yang mulia (nasab mulai dari beliau sampai bertemu Syaikh Muhammad Arsyad kesemuaanya merupakan Ulama.
Meski bernasab dari orang-orang mulia dan terhormat, Guru Bakhiet tidak mau menonjolkannya, namun hal ini telah diketahui masyarakat. Ketidakmauan beliau mengungkit nasab ini adalah satu bentuk ketawadhuan yang membuat masyarakat dan jamaah semakin menaruh hormat.
Terkait nama Guru Bakhiet, Sang ayah Tuan Guru Haji Ahmad Mughni Nagara, suatu ketika hadir di sebuah majelis yang dipimpin oleh ulama besar bermazhab Hanafi, yaitu Mufti Mesir Syekh Muhammad Bakhiet Al-Muthi’i (1854-1935). Guru Nagara melihat betapa alimnya syekh dari Al-Azhar itu.
Syekh ini dikenal kealimannya di bidang fiqih, tafsir, ushul fiqh, mantiq, dan filsafat. Menulis banyak kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Guru Ahmad Mughni pun berniat bila nanti dikaruniai anak lelaki, maka akan diberi nama Muhammad Bakhiet, sebagai tabarrukan. Alhamdulillah, kini Guru Bakhiet memang diakui sebagai ulama besar.
Pendidikan formal Guru Bakhiet hanya sampai kelas IV SD tahun 1976. Selebihnya banyak menimba ilmu di pendidikan non-formal. Mulai dari belajar khusus pada sang ayah, kemudian menimba ilmu di Pesantren Ibnul Amin (Pamangkih) pada tahun 1977, kurang lebih tiga tahun. Lalu mondok di Pondok Pesantren Darussalam (Martapura) pada tahun 1980 kurang lebih enam bulan. Dari sini pindah lagi ke Darussalamah kurang lebih satu setengah tahun.
Dari Kota Serambi Martapura, beliau kembali ke kampung halaman dan menimba ilmu pada ulama terkemuka disana, antara lain ayah beliau sendiri Tuan Guru Haji Ahmad Mughni. Guru Bakhiet muda belajar Fiqh kepada Tuan Guru Haji Abdul Wahab (Kampung Qadli Barabai), Ilmu Bahasa Arab dan ilmu alat kepada Tuan Guru Haji Hasan dan Tuan Guru Haji Saleh (Barabai), juga belajar Ilmu Falak pada Tuan Guru Haji Mahfuz Amin, Pendiri Pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih, yang menulis kitab Falak “al-Mahlulah fi Mukhtasar al-Manahij al-Hamidiyah”.