WARTABANJAR.COM – Program Makan Bergizi Gratis atau MBG, yang sejatinya digadang sebagai solusi perbaikan gizi anak bangsa, kini tengah menjadi sorotan. Bukan karena keberhasilan, melainkan gara-gara menu yang dinilai tak sejalan dengan semangat awal program.
Kritik paling keras muncul dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi IX DPR RI, pada senin, (22/9/2025) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Ahli gizi dr. Tan Shot Yen menilai penyajian burger dan spageti dalam MBG hanya gimmick yang miskin gizi. Ia bahkan menyebutnya “burger karton tipis berwarna merah muda,” menggambarkan betapa menu itu jauh dari standar makanan bergizi seimbang.
Pemerintah melalui Badan Gizi Nasional beralasan, variasi menu semacam itu muncul agar anak tidak bosan. Argumen ini memang masuk akal, sebab jutaan pelajar tentu punya selera beragam. Tapi pertanyaannya, apakah “agar anak suka” boleh mengorbankan prinsip gizi? Burger olahan beku jelas berbeda kualitasnya dibanding nasi, lauk segar, sayur, dan buah yang lebih dibutuhkan anak-anak dalam masa pertumbuhan.
DPR pun ikut menegaskan, MBG seharusnya menghindari bahan beku dan makanan sarat pengawet. Kritik ini wajar, karena tujuan program ini bukan sekadar mengenyangkan, tetapi menurunkan angka stunting. Apalagi, kasus keracunan di beberapa daerah sudah menunjukkan lemahnya pengawasan mutu makanan MBG.
Di titik ini, jelas bahwa persoalan MBG bukan sekadar ada burger atau tidak. Masalah utamanya adalah konsistensi standar gizi. Program sebesar MBG, yang menghabiskan anggaran negara ratusan triliun, tidak boleh jatuh pada jebakan selera pasar atau sekedar variasi. Setiap rupiah harus memastikan menu yang sehat, aman, dan mendidik pola makan yang benar.
Sesekali burger boleh hadir sebagai variasi. Tetapi menjadikannya ikon program gizi nasional jelas salah kaprah. Jika dibiarkan, MBG akan kehilangan esensi dari Makan Bergizi Gratis, menjadi Makan Bersama Gratis. (Wartabanjar.com/vri/berbagai sumber)