WARTABANJAR.COM, MARTAPURA- Umat Islam Kalimantan Selatan, khususnya yang di Kabupaten Banjar, siapa yang tak mengetahui Masjid Agung Al-Karomah.
Masjid besar ini tak hanya menjadi tempat beribadah umat Islam, namun juga menjadi simbol perlawanan rakyat Banjar melawan penjajah Belanda di masa lalu.
Dari bara kehancuran dan suara tangis masa lalu, bangkit sebuah lambang kekuatan.
Masjid Agung Al-Karomah kini berdiri kokoh di jantung kota Martapura, Kabupaten Banjar.
Sejarawan dan Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Mursalin, mengungkapkan pasca tragedi 4 Februari 1862, ketika Pasayangan dibakar habis oleh pasukan kolonial dan Masjid Jami Martapura diluluhlantakkan hingga menjadi abu, masyarakat tidak menyerah pada duka.
“Mereka bangkit. Perlahan namun pasti, dari reruntuhan sejarah, tekad membara untuk membangun kembali rumah Allah di tengah tanah yang pernah disiram darah dan air mata,” ungkapnya, Jumat (13/6/2025) pagi.
Pada tahun 1897, pembangunan dimulai kembali.
Tokoh-tokoh masyarakat seperti HM. Nasir, HM. Taher (Datu Kaya), dan HM. Apip (Datu Landak) menjadi penggerak utama kebangkitan itu.
“Dengan penuh perjuangan, mereka berhasil mengangkut empat batang kayu ulin raksasa dari pedalaman Barito yang kini menjadi penopang utama masjid yang kembali tegak berdiri,” lanjut Mursalin.
Masjid yang dibangun dari semangat kolektif itu tak hanya bangkit sebagai struktur fisik, tetapi juga sebagai simbol spiritual dan kultural masyarakat Banjar.
“Nama Al-Karomah, yang berarti “kemuliaan”, baru disematkan beberapa dekade kemudian, setelah sebuah peristiwa luar biasa terjadi,” beber Mursalin.

