Dalam surat dakwaan yang dipaparkan JPU, Zarof hanya dijerat dengan pasal gratifikasi terkait penerimaan uang sebesar Rp920 miliar dan 51 kilogram emas untuk pengkondisian perkara di lingkungan peradilan Mahkamah Agung (MA) pada periode 2012-2022.
Menurut Ronald, seharusnya Zarof dijerat dengan pasal suap karena ada kesepakatan awal sebelum perkara yang diputuskan dikondisikan.
“Seharusnya terdakwa Zarof Ricar lebih tepat dikenakan pasal suap. Karena diyakini terdapat meeting of minds antara pemberi dan Zarof Ricar selaku perantara penerima suap dalam kaitan dengan barang bukti yang diduga sebagai uang suap sebesar Rp920 miliar dan 51 kilogram emas itu,” ucapnya.
Ronald menambahkan, dalam surat dakwaan terkait penerimaan uang juga tidak dijelaskan secara rinci perkara-perkara yang dimainkan.
Ia menyoroti khususnya dugaan permainan perkara Sugar Group senilai Rp200 miliar yang mencuat dalam proses penyidikan kasus tersebut.
“Patut diduga uang sebesar Rp200 miliar itu merupakan milik hakim agung yang menangani perkara sengketa perdata antara PT Sugar Group Company (SGC/Gunawan Yusuf) dkk. melawan Marubeni Corporation (MC) dkk, sebagaimana pengakuan Zarof Ricar dalam pemeriksaan,” ujarnya.
Menurut dia, Febrie sengaja memberikan perlindungan kepada Zarof agar nantinya divonis bebas oleh hakim.
Hal ini dilakukan dengan tidak menguraikan secara detail dalam surat dakwaan mengenai pengkondisian perkara terkait penerimaan uang hampir Rp1 triliun tersebut.
“Apabila ditinjau dari format surat dakwaan yang dibacakan JPU Nurachman Adikusumo, wajar apabila terdapat kecurigaan bahwa Zarof Ricar diberi celah perlindungan oleh Jampidsus Febrie Adriansyah untuk dapat divonis bebas. Tidak diuraikannya asal usul sumber uang suap sebesar Rp920 miliar dan 51 kilogram emas dalam surat dakwaan,” jelasnya.