WARTABANJAR.COM, BANJARMASIN – Kelenteng Po An Kiong, salah satu tempat ibadah tertua di Kota Banjarmasin, tahun ini genap berusia 100 tahun sejak rekonstruksi ulangnya pada tahun 1925. Tempat ini menjadi simbol sejarah dan budaya masyarakat Tionghoa di kota ini, bertahan melewati berbagai cobaan, termasuk kebakaran besar yang pernah meluluhlantakkan bangunannya.
Pengurus Kelenteng Po An Kiong, Citra Surya Pandi, mengungkapkan bahwa kelenteng ini telah ada sejak tahun 1100, seiring dengan kedatangan pedagang dan pelaut Tiongkok yang menetap di kepulauan Nusantara.
“Mereka bukan hanya berdagang, tetapi juga membawa serta budaya, agama, dan kepercayaan yang akhirnya berkembang di berbagai wilayah, termasuk di Jawa dan Sumatra,” ujar Surya, Kamis (30/1/2025).
Lolos dari Kobaran Api, Berdiri Lebih Kokoh
Sejarah panjang Kelenteng Po An Kiong tak lepas dari insiden tragis. Dahulu, bangunan ini terbuat dari kayu, yang akhirnya musnah dalam kebakaran besar. Namun, tragedi itu tidak menghentikan semangat komunitas Tionghoa di Banjarmasin.
“Setelah kebakaran tersebut, kelenteng dibangun kembali menggunakan semen agar lebih kuat dan tahan lama,” ungkap Surya.
Meski diterpa berbagai ujian, kelenteng ini tetap menjadi pusat spiritual yang menyatukan etnis Tionghoa dengan masyarakat lokal. Semangat harmoni dan toleransi terus dijunjung tinggi oleh komunitas setempat.
Dupa dan Tradisi Imlek: Warisan yang Terjaga
Hingga kini, dupa masih menjadi elemen penting dalam ritual ibadah di Kelenteng Po An Kiong. “Dupa melambangkan doa yang naik ke langit, sebagai sarana komunikasi manusia dengan Yang Maha Kuasa,” jelas Surya.