WARTABANJAR.COM, JAKARTA – Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dilakukan DPR RI menuai polemik dalam kurun waktu terakhir. Anggota Komisi I DPR Muhammad Farhan meyakini beleid revisi UU itu akan lebih sempurna dengan keterlibatan publik.
“Saya kira masukan masyarakat sangat penting, proaktifnya masyarakat akan bermanfaat untuk penyempurnaan revisi UU Penyiaran,” kata Farhan seperti dikutip Wartabanjar.com di Jakarta, Sabtu (25/05/2024).
Menurut Farhan, revisi UU Penyiaran berawal dari sebuah persaingan politik antara lembaga berita melalui platform teresterial versus jurnalisme platform digital. Pada beleid revisi UU tersebut terdapat peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Baca juga:Mega Minta Tukar Posisi Ketua DPR Dianggap Candaan, Begini Kata Puan:
“Ini kan, lagi perang ini. Jadi, revisi UU yang ada ini atau draf UU yang ada sekarang, itu memang memberikan kewenangan KPI terhadap konten lembaga penyiaran teresterial,” ucap Politisi Fraksi Partai NasDem ini.
Ia juga menuturkan teresterial dimaknai penyiaran yang menggunakan frekuensi radio VHF/UHF seperti halnya penyiaran analog. Namun, dengan format konten yang digital.
Tetapi KPI ataupun Dewan Pers, lanjut Farhan, tidak punya kewenangan terhadap platform digital. Ketika lembaga jurnalistik yang menggunakan platform digital dan mendaftarkan ke Dewan Pers, maka itu menjadi kewenangan Dewan Pers.
Baca juga: Kejaksaan Rotasi Massal Pejabat Eselon Dua dan Tiga, Ada Apa?
“Lembaga pemberitaan atau karya jurnalistik yang hadir di digital platform ini, kan, makin lama makin menjamur, enggak bisa dikontrol juga sama Dewan Pers, maka keluarlah ide revisi UU Penyiaran ini,” ujar Farhan.
Baca Lebih Lengkapnya Instal dari Playstore WartaBanjar.com