Kelompok bersenjata gerakan separatisme di Papua, bukan hanya melakukan aksi ofensif berupa Gangguan Keamanan Bersenjata (GPK) saja. Mereka juga membentuk kekuatan pasukan melalui pendidikan militer dan membangun daerah basis atau pangkal perlawanan.
Baca juga: Volume Kendaraan Masih Landai, Korlantas Polri Tunda Rekayasa Lalin One Way Batang-Jakarta
Seperti lazimnya Gerakan separatisme di dunia, lanjutnya, umumnya terdiri beberapa kelompok atau front perjuangan.
“Jadi, selain kelompok atau front bersenjata, masih ada front politik, baik di dalam maupun luar negeri,” bebernya.
Tugasnya melakukan rekruitmen kader, pembentukan opini dan kegiatan diplomasi dengan mendirikan perwakilan di luar negeri.
“Ada pula front logistik melalui aksi kejahatan atau kriminal. Terakhir front psikologis yang bertugas melakukan aksi teror dan gerakan clandestein. Sehingga, ancaman gerakan separatisme di Bumi Papua tidak selalu bersifat militer saja. Melainkan juga bersifat non-militer, bahkan ancaman nir-militer.
Berdasarkan amanat konstitusi, pasal 30 ayat (3) UUD 1945, TNI terdiri dari TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU, sebagai alat negara bertugas untuk mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sehingga semua hakekat ancaman yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan negara adalah bidang tugas, wewenang dan tanggungjawab atau domain TNI.
Baca juga: Danramil di Papua Tewas Mengenaskan, OPM Klaim Bertanggungjawab
Oleh karena itu, sebagai Pejuang Prajurit Saptamarga tidak sepatutnya TNI lepas tangan dan menghianati amanat konstitusi. Artinya, TNI tidak boleh menyerahkan penanganan ancaman gerakan separatisme menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawab (domain) Polri. Justru ini adalah jelas-jelas sebagai domain TNI.