Dalam mekanisme ini, meski kepemimpinannya diabsahkan oleh para ulama, namun dalam melakukan mekanisme ini, pemimpin dengan model taghallub diharamkan dan dianggap sebagai orang yang keluar dari ketentuan dan ajaran agama.
Karena di dalamnya terdapat unsur menguasai hak milik orang lain tanpa izin. (Sulaiman bin Umar Al-Jamal, Hasyiatul Jamal ‘ala Syarh Manhajuth Thullab, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 2003 M], juz VII, halaman 566).
Dalam mekanisme yang berbeda-beda tersebut terdapat suatu hikmah yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw tidak meninggalkan ketentuan mekanisme khusus dalam pemilihan pemimpin.
Nabi saw justru memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menentukan sendiri cara yang lebih maslahat, karena tuntutan zaman, waktu, dan tempat yang sangat beraneka ragam.
Hal tersebut karena yang terpenting dari itu semuanya adalah bagaimana relasi kewajiban dunia dan akhirat dapat terjaga dan terkonsolidasi dengan baik. Wallahu a’lam. (sumber: NU Online)