WARTABANJAR.COM – Terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan istri dalam membina rumah tangganya.
Apabila hak dan kewajiban suami istri ini ditunaikan, maka dapat mendatangkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Setelah menikah, berlakulah hak dan kewajiban yang tidak dimiliki sebelumnya.
Pengertian hak adalah segala sesuatu yang melekat dan mesti diterima seseorang, sedangkan kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan.
Terkait nafkah rumah tangga merupakan hal yang sangat penting sebab akan mempengaruhi kekokohan dan kelangsungan rumah tangga.
Pengaturan nafkah rumah tangga juga ditidak sekehendak hati melainkan diatus menurut syariat Islam.
Dalam ajaran islam, seorang laki-laki yang berumah tangga memiliki kewajiban untuk menafkahi keluarganya (istri dan anaknya).
Mengutip dari buku Potret Rumah Tangga Islami karya Dr. Miqdad Yaljan, Islam mewajibkan laki-laki untuk mencari nafkah sebagaimana dikatakan dalam firman Allah SWT:
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan baik.” (QS Al-Baqarah: 233).
Baca juga:
Tidak hanya itu, seorang laki-laki juga wajib memberikan nafkah kepada mantan istrinya apabila telah bercerai dalam keadaan talak raj’i dan talak ba’in hamil. Namun, bentuk nafkah dari pernikahan yang telah terputus menurut mazhab Maliki dan Syafi’i hanya berupa nafkah tempat tinggal saja.
Berikut ini akan dijelaskan pengaturan nafkah rumah tangga dalam Islam yang perlu dipahami oleh suami istri.
Syarat Pemberian Nafkah
Disebutkan dalam buku Suami Istri Berkarakter Surgawi karya Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, hak nafkah istri atas suami harus diberikan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Akad nikah harus sah menurut agama.
2. Istri telah diserahkan kepada suaminya.
3. Suami dapat menikmati dirinya.
4. Tidak menolak untuk pindah ketika akan menikah.
5. Kedua-duanya dapat saling menikmati
Apabila di antara syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka suami tidak memiliki kewajiban untuk memberi nafkah pada istrinya.
Jenis Nafkah Suami kepada Istri
Adapun jenis nafkah yang wajib dipenuhi oleh seorang suami kepada istri berdasarkan buku Fikih Madrasah Aliyah Kelas X karya Harjan Syuhada & Sungarso, yaitu terdiri dari dua macam.
1. Nafkah Lahir
Nafkah lahir mencakup kebutuhan fisik atau badan. Hal ini seperti halnya kebutuhan sandang, pangan, dan papan (tempat tinggal). Termasuk biaya pendidikan anak hingga selesai jenjang pembelajaran dan juga biaya pengobatan apabila terdapat salah satu dari mereka (penerima nafkah) yang menderita sakit.
2. Nafkah Batin
Sedangkan nafkah batin adalah nafkah yang berhubungan dengan kejiwaan atau psikis istri, anak, dan kerabat. Seperti halnya seorang suami harus mampu menggauli istri dengan penuh kasih sayang, tidak kasar kepada anak, menjaga sopan santun kepada orang tua, serta menjalin hubungan baik dengan kerabat.
Kadar Nafkah yang Harus Diberikan Suami kepada Istri
Rizem Aizid dalam bukunya Merebut Hati Istri menjelaskan bahwa pemenuhan nafkah istri dilakukan sesuai dengan kebutuhan keluarganya. Artinya, suami boleh memberikan sejumlah harta serta hal lain yang dibutuhkan keluarganya secara per hari, per pekan, ataupun per bulan dengan kadar yang disanggupinya sebagai nafkah.
Para ulama dari kalangan Hanabilah berpendapat bahwa kadar nafkah hendaknya diukur sesuai dengan kondisi suami-istri. Apabila keduanya termasuk golongan yang dimudahkan rezekinya oleh Allah atau sama-sama berasal dari keluarga berada, maka wajib bagi suami memberi nafkah dengan kadar yang sesuai dengan keadaan keluarga mereka berdua.
Akan tetapi, jika keduanya berasal dari keluarga tidak mampu, maka kewajiban suami dalam menafkahi sesuai dengan keadaan mereka. Apabila keduanya berasal dari keluarga yang berbeda tingkat ekonominya, maka suami wajib memberi nafkah sesuai dengan kadar keluarga kalangan menengah.
Sedangkan para ulama kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah memiliki pendapat bahwa ukuran yang menjadi acuan untuk menentukan kadar nafkah yang harus diberikan suami kepada istri ialah keadaan suami itu sendiri. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat At-Thalaq ayat 7 yang berbunyi:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (At-Thalaq: 7).
Selain itu, dalam surat Al-Baqarah ayat 286 Allah SWT turut berfirman:
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ ۚ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir” (QS Al-Baqarah: 286).
Ayat-ayat tersebut telah menjadikan beban taklif (kewajiban) dalam memberi nafkah sesuai dengan kadar kesanggupan suami. Lalu, bagaimana jika seorang istri tidak memperoleh nafkah yang wajib dari suaminya?
Seorang istri yang tidak memperoleh nafkah wajib dari suaminya diperbolehkan untuk mengambil sesuatu berdasarkan kebutuhannya dan kebutuhan anak-anaknya, meski tanpa sepengetahuan suami.
Hal tersebut didasarkan pada sebuah riwayat yang menjelaskan tatkala Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan, datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu pelit dan ia tidak memberi nafkah yang cukup untukku dan untuk anakku.”
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Ambillah sesuatu yang mencukupi kamu dan anakmu secara wajar.” (HR Muttafaqun ‘alaih).
Itulah pengaturan nafkah rumah tangga dalam islam yang dapat dipahami oleh suami-istri, semoga bermanfaat.(wartabanjar.com/berbagai sumber)
editor : didik tm
Ayah dan Bunda Harus Paham, Begini Cara Mengatur Nafkah Rumah Tangga versi Islam
Baca Lebih Lengkapnya Instal dari Playstore WartaBanjar.com